M1911

9.3K 1.3K 29
                                    

Lengan kananku dalam posisi lurus dengan bahu agak terangkat. Sementara lengan kiriku sedikit menyiku untuk menyangga pegangan pistol. Aku harus terbiasa dengan hentakan. Terlebih pistol yang kugunakan bukanlah pistol untuk pemula.

DOR!

Ah sialan, luput.

"Posisi jempolmu terlalu menekan. Lemaskan sedikit. Jangan terlalu kaku. Coba lagi."

DOR!

"Pergelangan tanganmu masih kaku. Posisi moncong terlalu naik."

DOR!

"Sudah kubilang jangan asal tarik pelatuk! Rasakan tekanannya!"

Kulirik instruktur cerewet yang tak lain adalah ayahku. Matanya masih di sasaran yang posisinya 15 meter dari kami. Aku sedikit cemberut. Beliau langsung tahu kesalahanku dari posisi peluru mendarat.

"Perhatikan ini," ucapnya saat membidikkan pistol yang sama.

DOR! DOR! DOR!

Tiga peluru itu mendarat tepat di warna hitam sasaran tembak. Ayah sama sekali tak kesulitan saat pelatuknya beliau tekan. Tidak seperti aku yang lama-lama berkonsentrasi. Beliau menembakkannya seakan pistol itu bagian dari tubuhnya sendiri.

"Ayah, kenapa harus pakai rongsokan ini? Kenapa gak pakai Glock? Susah sekali nembaknya."

Sebelah alis ayahku terangkat. Beliau lirik artefak kuno yang biasa digunakan kalangan militer.

"Jangan mengeluh. Kalau ayah lebih suka pistol ini, kamu juga harus suka."

M1911, pistol legendaris yang jadi penyakit untuk pergelangan tanganku. Bukan hanya kalibernya yang lebih besar dari 9mm, keseluruhan komponennya terbuat dari logam. Bukan polimer seperti Glock. Kurang canggih. Maklum sih, model pistol ini usianya lebih dari 100 tahun.

"Dan kenapa pula aku latihan menembak? Masa aku nembak mantan suaminya Fitria?"

"Kamu cowok normal. Ayo latihan lagi. Masa kalah sama Izra?"

Hari ini kami berada di lapangan tembak Kodin Brawijaya. Di tempat inilah aku sering dilatih ayahku sendiri. Apa ini legal? Iya. Aku sudah terdaftar sebagai anggota Perbakin, tepat setelah aku mendapat KTP. Atau sejak masih SMA.

Bisa bayangkan? Sementara anak seumuranku sedang sibuk menembak cewek, aku sudah menembak pistol sungguhan.

"Skill senjata api itu penting kalau mau jadi orang besar."

"Apa hubungannya?"

Ayahku tertawa kecil. Beliau tepuk punggungku keras-keras dan memberiku pertanyaan simpel.

"Siapa yang boleh pegang pistol selain aparat?"

Aku berpikir sejenak. "Kepala pemerintahan? Boss perusahaan?"

"Nah itu tahu? Ini cara dewasa menaklukkan orang lain. Jadi orang besar. Buat mereka tahu tempatnya dimana. Ayo menembak lagi."

Aku terkesima dengan sikap ayahku. Padahal beliau tak pernah lagi bertanya pekerjaanku apa, sejak obrolan telpon beberapa bulan kemarin. Tapi beliau sangat percaya. Beliau terkesan yakin apapun yang kupilih adalah jalan terbaik. Tapi lama-lama aku heran karena pencapaianku tidak juga ayah tanyakan.

"Karena tak penting apapun pekerjaanmu apa. Yang penting bagaimana kamu mengerjakannya. Ayah tak mau membebani prosesmu dengan pertanyaan."

Jawaban simpel, lugas, namun belum memberi rasa puas.

"Ayah tidak kuatir kalau pekerjaanku gak bonafit?"

"Kalau pekerjaanmu tidak membanggakan, anakku ini tak mungkin pulang dengan wajah optimis."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now