The Secret Wife

9.1K 1.2K 80
                                    

Kalau tingkat cemburu seseorang diukur antara satu sampai sepuluh, nilai Fitria sebelas. Dia sangat posesif padaku, bahkan pernah cemburu pada laki-laki karena kami sempat berpelukan.

Mengerikan, bukan?

Tapi istriku tahu diri bahwa suaminya butuh fokus. Dia tahu bahwa rasa cemburu itu bisa mengganggu pekerjaanku. Dia juga sadar bahwa rekan kerjaku bukan hanya laki-laki. Di timku pun ada dua perempuan cantik hasil sortiran personalia cabul. Dan dari dua perempuan itu, Indah Hartinilah yang saat ini sedang bermasalah.

"Kamu hanya punya satu pekerjaan, Indah. Dan itu hanya rekap data. Bagian mana yang susah?"

Gadis itu menundukan muka. Ia celingukan melihatku dan sesosok makhluk kecil yang Fitria kirim sebagai bodyguard.

"Dedek jangan main di atas meja."

"Ndong!"

"Sini gendong ayah kalau gitu."

Si kecil naik ke pundakku. Dia duduk tenang dengan tangan memegang kepalaku. Beberapa orang menahan gemas. Dan aku menjaga intonasi meski wibawaku agak berantakan.

"Ehem ... Sepertinya kamu mengalami kesulitan. Bilang saja."

Nada suaraku terjaga. Begitupun ekspresiku saat memarahi si gadis cengeng. Hasil kerjanya buruk. Tapi aku tak mau mempermalukan anggota timku di hadapan banyak orang. Apalagi di hadapan si kecil yang saat ini ikut ke kantor.

"Hmmm ..."

"Atau ada yang mau kamu tanyakan?"

Indah mulai menegadah. Dia beranikan menatap mataku saat bertanya, "ap—apa Bapak sudah nikah?"

Sebelah alisku terangkat. Dari semua tanggapan yang kuinginkan, Indah justru menanyakan sesuatu yang bukan pada tempatnya. Aku takjub. Bisa-bisanya dia masih bertanya saat bukti nikah itu sedang kugendong.

"Permisi? Tadi bilang apa?"

"Apa Bapak sudah punya istri?"

Kubenahi posisi dudukku.

"Indah, kamu naksir saya?"

Indah bahkan menggeleng untuk jawaban yang sudah jelas.

"Saya sudah menikah, Indah. Dan tak ada perempuan lain yang lebih cantik dari istri saya."

Jawabanku itu sangat jujur. Walaupun hasil hafalan dari naskah karya Fitria, agar perempuan lain jaga jarak. Kukembalikan lembar kerjanya. Kuayunkan tangan sejenak agar Indah kembali ke meja.

"Revisi ini. Kalau susah hitung-hitungan, di ponselmu ada kalkulator."

"I—iya Pak." Indah Hartini kembali ke meja membawa drama dan air mata.

Astaga, apa aku setampan itu?

Abidin menghampiriku. Dia menoleh sekilas saat berpapasan dengan si cengeng.

"Dia kenapa lagi?"

"Memberinya pencerahan kalau kantor ini bukan tempatnya bucin."

Abidin terbahak. Begitu melihat Izra, dia tunjukan wajah lucu padanya.

"Gak usah melet melet gitu wajahmu sudah lucu, Din."

"Ck! mentang-mentang sudah laku." Dahi Abidin berkerut. "Ngomong-ngomong, Istri Pak Handoko orangnya seperti apa?"

"Kenapa tanya-tanya? Kebelet kawin?"

"Buat referensi, Boss. Urusan nikah kan gak sembarangan? Saya tidak mau salah pilih pasangan."

Aku geli sendiri. Abidin terlalu memujaku hingga urusan selera juga mau dia tiru. Pemuda itu bahkan mengeluarkan buku catatan dan siap-siap menulis apapun.

Mendadak AyahOnde as histórias ganham vida. Descobre agora