Pundak Prajurit

5.5K 790 43
                                    

Mesin mobil berhenti menyala. Linda masih diam di kursinya, wajahnya masih memerah karena skandal di sofa kantor, sekaligus lamaran dari pria yang dia puja sampai sekarang. Sifat anggunnya hilang lenyap karena kakakku. Seumur mengenalnya, baru kali ini wanita itu mewek-mewek seperti ABG.

"Apa jawabanmu?"

"Aku mau!" Dia bahkan buang muka sampai aku tak mengenalinya.

Hebat juga si playboy ini.

Linda berjalan gelisah ke pintu rumah. Memutar knob agak tergesa. Cipika-cipiki dengan istriku begitu tiba di ruang tamu. Sesekali menatapku sejenak, memberi kode bahwa kejadian tadi tak boleh bocor ke siapapun.

"Mbak, besok jadi ke Jakarta," tanya istriku.

"Iya. Kamu gak apa-apa kami tinggal?"

Fitria mengangguk pelan. Menatapnya mempertanyakan. Mungkin karena Linda tak sangup lagi sembunyikan wajah malunya.

"Mbak kenapa? Kok gelisah gitu?"

"Gak apa-apa, Fitria."

"Kok sampai merah padam gitu? Habis diapain sama Mas Pram?"

"Akkhh! Tidak apa-apa! Ak—aku ke kamar dulu."

Istriku menyeringai saat Linda makin histeris. Menatapnya penuh arti. Istriku kontan tertawa saat Linda agak tergesa memasuki kamar.

"Mbak, itu kamarnya Mas Pram. Kamarmu di atas."

***

Malam harinya, aku bergadang menemani Mas Pram. Menyalakan rokok di ruang tamu, bicara empat mata dengan kakakku. Bicara terbuka sebagai sepasang kakak beradik.

"Rasanya, baru kemarin adikku ini babi gendut yang hobinya mengadu ke ibu. Tahu-tahu bapak dua anak. Waktu cepat berlalu, ya?"

Kuhisap rokok dalam-dalam. Sejak pemakaman Sandra, Mas Pram menjauhkan diri dari alkohol. Tak minum lagi sekalipun bir lima persen. Komitmennya tak main-main.

"Mas masih berkabung?"

Lawan bicaraku mengangguk pelan.

"Aku kangen Sandra, Le. Rasanya baru kemarin dia bersamaku. Rasanya baru kemarin dia loncat-loncat memamerkan test pack."

Bibirnya tersenyum, tapi matanya tak bisa bohong. Mas Pram berusaha kalem saat matanya mulai melembab.

"Aku sudah melarangnya ikut. Tapi dia tak mau. Dia takut jadi janda sebelum menikah, hahaha! Lugu sekali wanita itu."

Seperti biasanya, aku hanya diam pasang telinga. Memberi jaminan bahwa aku bisa dipecaya. Sekalipun untuk informasi yang dia simpan sebagai prajurit.

"Kamu tahu, Le? Sejak hamil, dia berceloteh seperti anak kecil. Menanyakan hal-hal bodoh. Dia takut anak kami nanti kurang gizi karena dadanya cuma segini."

Aku tersenyum miris saat Mas Pram memperagakan gerakan tangan ke dadanya sendiri.  Mengenang Sandra di malam ini. Dari ekspresinya, kenangan itu sangatlah manis. Terlalu manis 'tuk dilupakan.

"Waktu tahu jenis kelaminnya, dia senangnya minta ampun. Dia takut punya anak perempuan karena ayahnya seperti aku. Dia juga takut anaknya jadi lesbian karena ibunya terlalu jantan. Untung saja laki-laki."

Mas Pram yang cerita, aku yang sesak. Pikiranku terlalu kalut sampai-sampai kunyalakan rokok kedua saat yang lama masih panjang di atas asbak.

"Terus, kenapa melamar Linda?"

"Lah, kan ibu sama Fitria yang minta?"

Aku tak punya jawaban. Ibu memang ngotot menjodohkan Linda dengannya. Mungkin merasa bersalah karena Linda memang calon yang dia suka.

"Mas gak keberatan?"

"Kamu lihat sendiri kan mereka memaksaku harus nikah? Aku 32, Le. Gak muda lagi. Apalagi Linda. Aku bisa apa? Perempuan yang mereka percaya cuma dia."

"Mas gak kasihan sama Mbak Sandra?"

Kali ini, Mas Pram murung lagi. Dia merebah bersangga tangan sembari menatap chandelier. Menghela napas berkali-kali.

"Kalian eksekutif menganggap asmara seperti bisnis dan investasi. Saling percaya dan saling bisa dipecaya. Aku dan Sandra prajurit, Le. Hubungan kami seperti prajurit. Kami harus terbiasa meratapi kematian. Aku terbiasa, Le. Dan Sandra bukan yang pertama."

Aku terkesima saat Mas Pram menatapku penuh makna. Memberi senyum selayaknya seorang kakak. Dia tepuk pundakku dan memberi cerita lain.

"Bayangkan, Le. Kita sama-sama prajurit. Kita di kesatuan yang sama. Bayangkan kita dikejar musuh dan salah satu dari kita tertebak. Bayangkan Le, kalau aku yang tertembak, apa yang kamu lakukan?"

Ludahku tertelan perlahan. Bayangan itu sangatlah jelas. Sejelas dua pilihan yang aku miliki andai itu telah terjadi. Meninggalkan Mas Pram demi menyelesaikan misi, atau menemaninya mati bersama di tangan musuh.

Dua-duanya sangatlah berat. Kalau aku meninggalkannya, aku dihantui penyesalan seumur hidup. Tapi kalau kami mati bersama, anak dan istriku pasti sengsara. Aku baru tahu jadi prajurit tak semanis cerita fiksi.

"Mas Pram sering mengalami itu?" Aku gelagapan. Ludahku tertelan lagi saat Mas Pram mengangguk pelan.

"Iya, Le. Tak sekali dua kali aku meninggalkan sahabatku gugur sendirian saat bertugas. Apalagi aku komandan. Meninggalkan mereka keputusanku. Dan kamu tahu, Le? Sampai detik ini aku tak pernah melupakannya. Aku tak pernah bisa tidur nyenyak. Aku tak bisa tenang tanpa minuman. Atau menyibukkan diri dengan perempuan. Mereka selalu datang, Le. Tuh, temanku duduk di sana."

Aku begidik saat Mas Pram menunjuk sofa.

"Mas serius?"

"Mau kenalan?"

"Aku gak mau kenalan sama hantu!"

Mas Pram kontan tertawa. Sebuah tawa yang terdengar tragis. Menggeleng pelan sambil meleguh.

"Mereka hanya halusinasiku, Le. Bukan hantu. Tenang saja. Aku hanya kena PTSD. Sudah biasa dialami prajurit. Termasuk ayah kita."

Hufff, untung saja aku tak jadi Prajurit. Untung saja minatku lain. Mungkin inilah alasan Mas Pram membelaku mati-matian di depan ayah.

"Dan kamu tahu, Le? Kematian Sandra lah yang paling berat. Dan itu lebih berat lagi karena bukan aku yang jadi komandan. Sebenarnya Sandra masih bisa ditolong, Le. Tapi perwira karbitan itu tak mau ambil resiko. Padahal dia tahu Sandra itu calon istriku."

"Dia tahu Sandra hamil?"

Gantian Mas Pram menelan ludah. Menahan diri tidak menangis. Dia beranjak tegas karena malu membocorkan informasi ke warga sipil. Atau mungkin malu kalau aku melihatnya cengeng.

Kebiasaannya dari kecil.

Air matanya mahal.

"Maaf, Le. Aku bicara terlalu banyak. Tolong jangan bocor ke siapa-siapa."

"Iya, Mas."

Sekilas, Mas Pram memejam miris. Sekilas pula ada kilauan di sepasang bulu matanya. Bulu mata yang terlalu lentik untuk ukuran seorang pria. Atau pipinya yang agak oval. Terlalu feminim. Termasuk bibir sensual yang mengambil dari ibuku.

"Pesan Sandra cuma dua, Le. Jangan minum-minum lagi dan jangan main perempuan. Itu saja pesannya saat sekarat di pelukanku. Itu saja, Le. Dia berharap aku bahagia ..."

Mas Pram berjalan lunglai meninggalkanku. Menunjukkan rentetan beban yang dia emban di pundaknya sendiri. Pundak seorang prajurit. Memaksaku berdiri tegap, memberi hormat saat Mas Pram sudah berdiri di depan kamar.

"Mas."

"Iya Le?"

"Itu kamar Linda. Kamarmu di bawah."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now