Kerudung Putih

21.3K 1.9K 55
                                    

KLIK!

"Hufffff!"

Percikan korek mengawali orkestra yang diiringi bunyi serangga. Hembusan asap mengepul tenang di antara rumput ilalang. Angin sore menyeka wajahku. Kupandangi hamparan sawah dari pintu pemakaman tempat ayahnya disemayamkan. Aku menunggunya di tepi jalan. Fitria masih duduk khuyuk di depan pusara dengan entahlah apa doanya. Bibirnya tersenyum teduh. Terlalu teduh untuk ukuran yatim piatu.

"Kita langsung pulang?"

Fitria mengangguk. Dia berikan senyum padaku saat tanganku membuka pintu. Ziarah itu mengakhiri perjalanan kami. Sebuah perjalanan dimana kedewasaanku benar-benar diuji. Pemakaman itu pun seperti akhir dari memori kelam, dimana orang-orang akan dilupakan.

Hilang terpendam tanah.

Hilang seperti kesabaranku setelah bertemu Paman Fitria.

"Mas, jangan dipikirkan lagi, ya?"

"Kamu pikir, aku akan diam saja? Orang tuaku saja menghargaimu."

"Karena orang tuamu menghargaiku ... Mas lupakan hari ini, ya?"

Perasaanku masih kalut. Pikiranku kemana-mana saat mata fokus di jalan. Padahal, tinggal selangkah lagi kami menikah. Tapi gara-gara paman Fitria aku jadi mengkoreksi diriku sendiri.

Beberapa jam lalu kami berada di rumah Fitria. Atau lebih tepatnya bekas rumah tempat dia lahir dan besar. Rumah itu sangat sederhana. Sama sederhananya seperti desa yang kami kunjungi.

Dusun Pucukan, lokasi itu sangat terpencil di Sidoarjo.

Fitria cukup beruntung bisa sekolah di kota karena beasiswa yang dia raih. Gadis siswi cerdas. Dia bahkan pernah jadi ketua OSIS. Tapi sebagai gadis desa, tetap saja dia tak punya pilihan, untuk melawan sebuah kutukan yang bernama perjodohan.

Hidupnya pernah hancur karena Ferdian. Dan ketika dia punya kesempatan kedua, dengan sombongnya si Sukardi mematok harga.

"Fitria, pamanmu sudah ambil alih rumahmu, semua warisan ayahmu, dan sekarang dia minta sepuluh juta hanya demi jadi walimu?"

Kurasakan jemari Fitria menyentuh tanganku yang sibuk di gearbox. Dengan lembut dia remas jemariku hingga aku terpaksa menoleh. Senyumnya teduh sekali. Menyejukan hatiku yang sedang panas. Fitria terlalu dewasa sampai aku tak mengenalinya.

"Mas, aku punya kamu sekarang. Aku punya Izra, kakek neneknya. Apa yang kurang, Mas? Lupakan hari ini ya sayang?"

"Gak apa-apa nih pakai wali hakim? Sukardi itu satu-satunya kerabatmu loh."

Fitria mengangguk. "Aku sudah komitmen melupakan masa laluku, Mas." Dia menoleh jendela saat desanya mulai menjauh. "Aku ingat waktu pertama kali Mas pegang tanganku di stasiun. Mas ajak aku ikut ke kontrakan. Warna langitnya seperti sekarang. Jingga." Dia alihkan perhatian.

Aku tak menjawabnya. Dia sedang melankolis. Kami berhenti di tepi jalan di antara sawah membentang. Setelah kubukakan pintu, Fitria menyandarkan diri di badan mobil. Aku pun bersandar ke sisi yang sama untuk sekadar menatap senja.

"Mas, aku juga ingat waktu kita pulang dari minimarket. Mas pegang tanganku lagi terus minta aku berjanji untuk gak hidup sendiri-sendiri. Langitnya juga jingga."

Sekali lagi mulutku tertutup. Dia sedang butuh telinga saat ini. Kunyalakan satu rokok lagi agar bibirku tidak menganggur. Toh, Izra ikut kakeknya di Surabaya. Kubiarkan Fitria meluapkan perasaannya di hari terakhir sebelum menikah.

"Aku gak menyangka cowok serem di kereta itu ternyata jodohku."

"Memangnya aku seserem itu?"

"Iya lah. Udah brewokan, gak terawat, terus hobinya pelotin orang. Aku saja dipelototin."

Rasanya konyol mendengar sisi cerita itu dari bibir Fitria sendiri. Waktu itu aku hanya anak minggat yang memandang dunia sebagai musuh. Hidupku hanya berbekal iri. Aku berlari dari kenyataan. Kehadiran Izra dan Fitria seperti cermin bagiku, agar berkaca bahwa dunia tak seburuk itu.

Apa aku punya alasan untuk mencintainya?

Iya. Alasan itu terlalu banyak sampai aku hilang hitungan. Fitria seperti potongan puzzle di hatiku yang tak mungkin lengkap andai kami tidak bertemu.

Demi Tuhan aku mencintainya. Karena syukur itu, kuraih badan mungilnya dan menggendongnya dalam posisi saling berhadapan.

"Mas! Malu ih dilihat orang!"

"Dih, tadi pagi aku dijewer ibu gara-gara ada yang maksa tidur di sofa. Kok sekarang bilang malu?"

Fitria nyengir. Dia jepit pinggangku dengan kedua kakinya, dan merangkul leherku agar gendongan itu lebih lama. Siluet senja melukis bayangan kami. Jantungku mulai berdegup saat matanya menatap mataku.

"Mas, aku mencintaimu."

Fitria cium bibirku lagi.

Dia menciumnya lama karena aku menikmatinya.

"Fitria ..."

"Iya sayang?"

"Selama ini kamu yang menekanku untuk melamarmu, bukan?"

Fitria mengangguk pelan.

"Hari ini giliranku inisiatif sendiri."

Anggukannya semakin cepat. Aku yakin dia bosan selalu memulai sendirian. Aku memang kurang romantis padanya. Aku terlalu pemalu sampai dia sering memaksa. Tapi untuk hari ini, ingin kubuktikan padanya bahwa akulah laki-lakinya.

Aku ingin layak melamarnya.

Semua dari hati.

Tidak kurang, tidak lebih.

"Fitria Setyaningsih ... bersediakah kamu menjadi istriku? Bersediakah kamu menerima sisa hidupku sebagai satu-satunya orang yang menjagamu dan putera kita?"

***

Esok harinya di ruang tamu rumahku.

Di bawah kerudung putih berenda, aku duduk di samping Fitria. Aku duduk dengan khusyuk saat tanganku menjabat tangan penghulu. Tatapanku tegas, begitupun komitmenku. Aku tak bisa mundur lagi karena setelah ini aku resmi jadi suami.

"Saya terima nikah dan kawinnya Fitria Setyaningsih binti Kusnadi dengan Mas kawin seperangkat alat sholat dan uang senilai 600 ribu dibayar tunai!"

"Sah?"

"Sah!!!"

Fitria menangis lemas setelah ikhrar itu terucap. Begitupun ibuku yang terlanjur menyayanginya. Tanganku masih gemetar. Aku masih belum percaya statusku telah berbeda. Di ijab kabul yang hanya di hadiri beberapa orang, anganku terhempas lepas di 10 bulan lalu saat kami pertama bertemu.

Fitria yang dulu orang asing, kini jadi sosok pertama yang aku lihat di setiap paginya. Fitria yang dulu pemalu, kini jadi wanita dewasa yang sangat anggun bertutur kata. Dan Fitria yang dulu tak punya semangat hidup, kini jadi sosok ceria yang optimis memandang dunia.

Aku menoleh Fitria. Dengan masih di bawah kerudung putih, kucium keningnya dan memeluknya penuh air mata.

"Kita menikah, Fitria. Kamu percaya? Aku suamimu sekarang."

Istriku tak membalas apa-apa selain anggukan dan isak tangis. Dia benamkan kepalanya di dadaku seakan mengadu seberapa berat dia menunggu. Perjuangan kami terbayar tuntas. Suka duka kami melewati pintu pertama di mana cinta seharusnya berlabuh. Dan setelah menyalami orang tua, setelah melepas kerudung putihnya, kugendong tubuh Fitria dan agak terburu menuju kamarku.

"Hei, mau kemana?" Ayahku menegur. "Hei, acaranya belum selesai! Hei!"

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now