Kamar Hotel

17.9K 1.8K 31
                                    

Entah berapa kali aku bertaruh untuk sesuatu yang hasilnya tak pernah kutahu. Dulu aku pergi dari rumah untuk tujuan yang tidak jelas, dulu juga nekad menanggung hidup perempuan asing dan bayinya saat hidupku sendiri tidaklah pasti. Dan saat ini, aku bertaruh untuk sebuah restu yang kemungkinannya masih abu-abu. Aku mulai terbiasa berjudi nasib. Tapi aku tak yakin Fitria punya pikiran yang sama yang kulihat dari sorot wajahnya.

Calon istriku takut, kata Mas Pram. Begitupun aku yang kenal betul standar orang tua kami. Tapi Fitria berusaha tegar karena dia tahu aku butuh dukungan mental. Dia sembunyikan perasaannya sendiri, rasa cemasnya, dan segala kemungkinan buruk jika hubungan kami tak mungkin berlanjut. Perjalanan ini memberi tekanan untuknya. Semakin dekat kami ke Surabaya ... wajahnya semakin muram.

"Masih baca buku?"

Fitria mengangguk pelan. Kulirik buku "Strategi Manajemen" yang cukup berat untuk latar belakang pendidikannya. Mungkin itu caranya menenangkan diri atau entahlah. Kuulurkan tangan kiriku dan meremas jemarinya, untuk menyampaikan rasa bahwa semuanya baik-baik saja.

Senyum manis dia tunjukan. Fitria balas remasan itu dengan wajah penuh optimis.

"Mas, banyak istilah yang aku gak paham. Dividen itu apa?"

Mood-nya mulai membaik. Aku tak boleh merusaknya.

"Sederhananya, dividen itu bagi hasil antara operator perusahan dengan pemegang saham."

"Ooo ... kalau shareholder?"

"Shareholder itu bahasa kerennya pemegang saham. Kalau di perusahan kita itu Pak Asep."

"Tapi kan kita gak pakai saham?"

"Bukan enggak, tapi belum. Soalnya masih CV. Kalau sudah PT baru kita bicara saham. Untuk saat ini bagi hasil saja sama Pak Asep."

Fitria masih menelusuri buku membosankan itu halaman demi halaman. Aku paham semangat belajarnya setelah berbicara dengan Mas Pram. Dia ingin layak menjadi istriku. Fitria sadar betul ada pengorbanan yang harus dia lakukan untuk menutupi nilai minus. Dia takut status janda akan jadi tembok penghalang untuk restu yang kami kejar.

"Untuk sementara tanya dulu ke aku. Nanti kalau sudah kuliah pasti lebih paham lagi."

"Iya, Mas. Nanti kalau Izra agak gedean aku kuliah."

Kalau boleh jujur, itu juga yang aku takutkan. Segala pembelaan aku siapkan andai ayah ibu mempertayakannya. Fitria adalah wanita yang lebih dari sempurna. Perasaannya padaku bukan lagi sekadar cinta, melainkan harapan akan masa depan kami berdua. Dia tahu harga yang harus kami bayar. Dia tahu bahwa pernikahan kami bukanlah akhir perjalanan, melainkan awal dari sebuah pembuktian.

Tanpa sadar kuraih jemarinya lagi. Kucium jemari itu dan berkata, "aku mencintaimu, Fitria."

Fitria terdiam dengan pipi merona merah. Dia bingung sendiri sebelum tiba-tiba melihat jalan.

"Mas konsentrasi nyetir dong!"

"Ah, iya, sorry! Agak ngantuk nih," balasku cepat. Aku pura-pura celingukan untuk mencari tempat istirahat. Walau hubungan kami sejauh ini, aku masih canggung saat terjebak suasana romantis.

"Mas, di sekitar sini ada rest area kan?"

"Rest area lagi? Gak bosen?"

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now