Genderang Perang

912 106 4
                                    

Siapa yang tak tahu Kota Dubai? Aku yakin siapapun yang punya smartphone pasti tahu kota itu. Sebuah Kota yang dicap sebagai kota paling mewah di seluruh dunia.

Semua tinggal gungling, bukan?

Akan tetapi, aku tak yakin semua orang tahu bahwa 60 tahun lalu Dubai hanyalah pasir tandus. Aku juga tak yakin banyak orang tahu bahwa kota itu berkembang pesat karena campur tangan perusahaan besar. Salah satunya Silver Bridge Corporation.  Perusahaan raksasa yang pendapatan pertahunnya melebihi pendapatan negara. Ribuan trilyun rupiah. Dan CEO perusahaan itu saat ini tidak lain adalah Respati.

Pertanyaannya, proyek dia apaan, sih?

Proyek Silver Bridge sangatlah sederhana. Bangun jalan besar, bangun cikal bakal kota, bangun pelabuhan, bandara, sarana parwisata, pusat perkantoran, perbelanjaan, puff! Jadilah Dubai baru di Indonesia. Dan megaproyek itu 100% pakai duit perusahaan. Negara tak perlu keluar duit sepersenpun. Dana itu bukan patungan apalagi pinjaman. Respati hanya minta sekian hektar lahan sebagai gantinya. Tidak banyak.

Sangat menguntungkan, bukan?

Apalagi, proyek itu dikerjakan di daerah yang belum berkembang. Entah itu Kalimantan, Maluku, Papua, terserahlah. Semakin terpencil semakin bagus.

Kurang enak apa, coba?

Namun, apa yang diharapkan dari negara yang tingkat korupsinya nomor tiga di seluruh Asia?

Aku kesal proyek itu justru dihalang-halangi para politisi. Terutama Partai Tiga Arah yang dulunya pernah berkuasa. Gerombolan itu datang ke pesta kami seolah-olah rumahnya sendiri.

"Mereka pikir sedang piknik?"

"Santai saja." Respati menegur kalem. Memintaku menjaga sikap saat menemui gerombolan itu.

Di sebuah meja panjang, kami berdiri di antara orang-orang yang berebut menu prasmanan. Ada yang rebutan lobster, kaviar, steak, juga menu-menu lain yang hanya ada di bintang lima. Norak sekali. Sementara partai lain hanya diwakili satu dua orang, Partai Pink itu datang-datang bawa rombongan.

Padahal tidak diundang.

Aku malu sendiri saat tingkat mereka jadi cibiran tamu-tamu asing.

"Selamat siang, Pak Respati." Salah satunya menegur. Sesosok pria buncit berwajah rusak. Bentol-bentol. Mirip sayuran pare yang Respati makan mentah-mentah karena ketahuan menggoda cewek.

"Selamat datang. Nikmati makanannya. Mumpung gratis."

Siapapun tahu bahwa Respati sedang menyindir. Tapi sindiran itu tak mungkin ngefek ke politisi. Mukanya terlewat tebal. Si Pare itu justru terkekeh dan mengenalkan pria muda di sebelahnya. Sosok yang dia sebut sebagai Anthony. Mantan Prajurit yang bermasalah dengan Mas Pram.

"Beliau ini pahlawan, Pak Respati. Masyarakat Indonesia sudah tahu sepak terjangnya di dunia militer," terang si pare agak membungkuk. Memberi hormat berlebihan ke mayor karbitan.

"Oh, begitu ya?" balas Respati santai. Pura-pura tertarik dengan si pahlawan berjas pink.

"Iya, Pak Respati. Beliau ini prajurit paling berprestasi di Indonesia. Siapa yang tak kenal beliau?"

Pria muda itu berdiri congkak seperti boss. Dagunya terangkat tinggi saat si pare memujinya di depan orang. Andai Respati menyuruhku, sudah kutabok pria itu.

"Beliau ini sukses menjalankan misi di Papua kemarin. Membasmi KKB."

"Iya iya, simpan ceritanya nanti saja." Respati melihat arloji. Memberi kesan sedang tak ingin berbasa-basi. "Apa tujuan anda ke sini?"

Dua pria itu saling menoleh.

Sikap to the point itu jelas-jelas kurang nyaman di telinga mereka.

"Mayor Anthony punya perusahaan kontruksi, Pak Respati. Anda pasti pahamlah. Lebih berpengalaman dibanding perusahaan rekanan anda."

Sekilas, Respati melirikku. Dia memintaku menjaga sikap saat perusahaanku sedang disebut. Dua orang itu belum tahu bahwa akulah CEO dari perusahaan yang mereka maksud.

"Pengalaman dalam arti apa?" Respati mengujinya.

Aku pun tahu 'pengalaman' yang mereka maksud adalah pengalaman mengemplang duit.

"Kami bisa memberi keuntungan lebih, Pak."

"Keuntungan darimana?"

"Ah, masa Bapak tak tahu?"

Meta Respati terpicing. "Anda mau ajak saya korupsi uang perusahaan saya sendiri?" ucapnya blak-blakan.

"Mak—maksud saya dari APBN, Pak."

Bibir Respati menyeringai sinis. "Berapa yang bisa anda tawarkan untuk saya?"

"Puluhan milyar!" katanya bangga. Si Pare itu semakin bangga saat Respati memberi kesan menimbang-nimbang.

"Milyaran dollar?"

Ekspresinya kontan berubah. Pertanyaan Respati terdengar mustahil. Sebesar apapun mereka korupsi, milyaran dollar terlalu besar. Pria itu kontan cengengesan saat Respati makin memicing.

"Mak—maksud saya dalam rupiah, Pak."

Mata Respati berputar ke atas. Menyeringai geli akan penawaran pilitisi korup.

"Anda mau mengajak saya mengkhianati Silver Bridge  hanya demi uang recehan? Pfttt! Hahahaha!"

Pria itu menelan ludah. Kepalanya mulai menunduk saat Respati terbahak-bahak. Aku yakin, politisi itu baru sadar sudah salah menilai orang. Harga dirinya makin jatuh saat Respati bertepuk tangan seperti sedang melihat badut.

"Selera humor anda sangat bagus, Pak. Saya sangat terhibur. Ada lelucon lain yang bisa saya dengar?"

Si Pare diam sejenak. Saling menoleh dengan pria muda di sebelahnya.

"Pak Respati, Griya Cipta Kontruksi itu baru seumur jagung. Lebih baik cari partner lain. Perusahaan kami misalnya. Kami sering mengerjakan proyek-proyek nasional, dan semuanya—

"Mangkrak," potong Respati cepat.

Dua orang itu tak sanggup bicara saat Respati mulai menyebut semua proyek yang melibatkan Partai Tiga Arah. Semuanya memang mangkrak. Duitnya disunat habis-habisan saat proyek masih rencana di atas kertas. Mereka hanya terdiam saat Respati dengan santainya menyulut rokok.

"Anda menawarkan perusahaan bongkar pasang yang tak punya record apapun selain proyek gagal?" Sekali lagi dia tertawa sampai mengusap air matanya. "Silahkan nikmati makanannya. Saya tinggal dulu. Ada bisnis betulan dengan tamu lain."

Walau pantas menerimanya, hinaan Respati keterlaluan. Pria itu bahkan menterjemahkan pembicaraan tadi ke para tamu dari negeri lain. Ada konsulat dari Thailand, Australia, Malaysia, dan beberapa tamu dari Eropa. Mereka cekikikan sambil melirik orang-orang berpakaian pink.

Jelas saja, partai itu murka dan serempak kepalkan tangannya.

"Anda melukai demokrasi, Respati! Anda pengkhianat bangsa!"

"Kamu menantang perang, Respati?"

"Inikah sopan santunmu pada tamu undangan?"

Respati tersenyum kalem. Dia balik badan dan agak dramatis rentangkan tangan. Berlagak seperti nabi di hadapan para pendosa.

"Yang undang kalian siapa?"

Mereka langsung pulang setelah membungkus menu prasmanan.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now