PS - Pasca Trauma

580 76 1
                                    

Dua hari kemudian, Burj Al-Arab, Dubai.

Tubuhku terasa berat. Misi kemarin masih membekas. Capeknya mulai terasa begitu kami di Kota Dubai. Padahal aku menginap di hotel termewah. Hotel yang semalamnya bisa dibandrol empat ratus juta.

Karena kenapa?

Karena setelah nyawa mereka kami selamatkan, dua pengusaha itu memberi kami paket liburan. Aku pun terjebak di kamar ini bersama perempuan yang badannya seperti beton.

"Bercinta denganmu malah tambah capek," gumamku sepelan mungkin.

Sandy, atau Sandra Dewi, masih terlelap di pelukanku. Bisa kurasakan tiap inci badannya yang dipenuhi gumpalan otot. Apalagi otot perutnya. Lebih six-pack dariku. Penampilan itupun didukung rambut pendeknya, juga buah dadanya yang lebih rata dari bandara.

"Sayang ..."

Monster betina itu bangun. Aku pura-pura manis saat bibirku dicium lagi.

Hoekk!!

Bau mulutnya mengerikan!

Tapi aku harus tetap manis daripada tewas karena hal lain.

"Pram, aku sayang kamu. Kita nikah ya?"

"Setelah ini kita check out, okay?"

"Gak mau," jawabnya manja, tanpa melihat postur tubuhnya. Si kekar itu merengkuh tubuhku yang juga telanjang di bawah selimut.

Dia masih belum puas.

"Ayo, lagi ..."

Sebenarnya Sandy cukup cantik kalau dia mau dandan. Aku berani menggodanya karena kupikir dia lesbian. Ternyata tidak. Diam-diam naksir aku. Perempuan itu langsung mengikatku begitu aku berkata bahwa aku menyukainya.

Seperti hari ini.

Dia memperkosaku mentang-mentang kami tak punya alasan pulang.

"Ke Indonesia mau ngapain? Toh, Tuan Krab belum menghubungi kita," katanya, menyebut komandan kami yang suka memberi tugas mustahil. "Atau jangan-jangan, kamu punya cewek lain?" katanya lagi sambil melirik pistol.

Aku jelas menggeleng. Aku bisa bayangkan rumah tanggaku andai dia jadi istriku. Dalam hati, aku berdoa semoga seseorang memberi alasan. Dan ketika Sandy mulai meraba, aku bernapas lega saat ponselku keras menyala.

Itu dari Handoko.

Kuraih ponsel itu dan menyalakan loud speaker.

"Mas, aku nembak orang. Dua hari lagi ke kantor polisi."

***

Asap pekat membumbung tebal di langit gelap. Asap dari lapis baja yang baru saja menginjak ranjau. Aromanya sangat menyengat. Bau mesiu, gasoline, anyir darah, juga bau daging manusia yang masih terbakar.

Aku sendirian di padang gersang. Di antara mayat yang masih hangat. Termasuk mayat SpongeBob, Squidward dan mayat Sandy yang sudah lupa mereka gugur karena apa. Hatiku sudah beku untuk berkabung. Aku tak sanggup pikirkan apapun.

Aku duduk terdiam bersama M1911 di tangan kanan, juga satu sisa peluru di tangan kiriku. Mungkin pistol itu pertahanan terakhir. Mungkin pula alat bantu untuk mengakhiri hidupku sendiri. Kumasukan moncong pistol ke dalam mulutku dengan mata rapat tertutup. Pilihan kedua lebih masuk akal untukku. Tapi saat hendak kutarik pelatuk, wajah Handoko mulai terlintas.

Tidak ...

Aku tak ingin mati ...

Aku ingin kebahagiaan yang saat ini Handoko miliki. Wajah bahagia seorang pria yang menemukan tujuan hidup. Menemukan kasih sayang dan kedamaian. Atau setidaknya, tulus dicintai tanpa menghitung untung dan rugi. Bukan karena tampang, karena pangkat, apalagi karena seragam. Aku ingin seorang perempuan yang memahami seluk belukku, termasuk mimpi buruk yang menghantuiku seumur hidup.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now