Naluri Istri

8.8K 1.3K 60
                                    

"Boss! Kepala bagian sampai heran sama kinerja kita. Cepet banget!" Abidin bicara antusias. Dia bolak-balik lembaran kertas yang sudah ditanda-tangani manajer kami. "Katanya, biasanya antar tim itu saingan. Tapi baru kali mereka mau kerja sama."

"Ada dua faktor, Din. Yang pertama itu leadership ..." jawabku santai sebelum menghisap rokok filter. "Dan yang kedua itu duit."

Abidin langsung mencatat kata-kataku. Dia siapkan buku sendiri yang sudah terisi tulisan tangan. Itu adalah materi yang kusampaikan sebulan ini. Abidin selalu mencatatnya dan tak pernah malu untuk bertanya. Semangat belajarnya mirip Fitria. Aku bisa membaca masa depannya.

"Tapi kalau bicara leadership, rasanya ada yang aneh, Boss."

"Aneh apanya?"

Tangan kananku itu sejenak celingukan. Dia pelankan suara agar tim kami saja yang mendengarnya.

"Pak Kepala Bagian cuma bisa kasih perintah. Beliau gak pernah kasih contoh. Dan cara bicaranya gak terasa berbobot. Beda sama anda, Pak Boss. Gimana ya jelasinnya?"

Dua orang lain mengangguk setuju. Mereka adalah Indah Hartini dan satu perempuan lagi yang bernama Clarissa siapalah siapalah. Seorang perempuan kalem yang lebih banyak menyimak. Matanya agak sipit. Mungkin keturuan Tionghoa.

"Dan Boss tahu, saya merasa boss ini seperti sudah pengalaman mengatur orang. Kharismanya seperti direktur!"

"Iya!" Seorang perempuan ikut bicara. "Pak Handoko memang—

Indah langsung diam saat aku menatapnya tajam. Astaga, si cengeng ini tak bisa dipercaya. Gara-gara dia, Abidin jadi penasaran dan menunjukan mata analitis.

"Memangnya Boss kenapa?"

"Anu ... Hmm ... Pak Handoko memang kharismatik."

"Tapi kok kamu seperti tahu sesuatu?"

"Anu ... Hmm ... Anu ..."

"Kok kamu seperti punya rahasia?"

Sialan, dari semua orang yang mencurigaiku, Abidin adalah orang pertama yang tak boleh tahu. Pemuda itu tajam. Dia tipikal orang yang bisa mengorek informasi hanya berbekal secuil petunjuk. Diskusi ini agak berbahaya. Kurangkul pundak si Indah dan berakting sebaik mungkin.

"Kami memang dekat kok, iya kan Indah?"

"I—iya, Abidin. Aku dan Pak Handoko memang dekat beberapa hari ini."

Si pendiam Clarissa langsung ternganga. Dia merespon sikap kami seperti gadis-gadis menonton teenlit. Tapi Abidin tak sekaget itu. Dia masih picingkan mata dengan ekspresi makin curiga.

"Pak Handoko kan sudah menikah?"

"Heh? Tahu darimana?" balasku kaget.

"Penampilan Pak Handoko terlalu rapi untuk ukuran pria lajang. Terutama bulu dagu. Itu penampilan pria yang dirawat pasangannya. Belum lagi cincin itu. Pasti nama istri bapak terukir di sana."

Sialaaaaaannn! Orang ini tajam sekali! Langsung kumasukan tangan itu ke dalam saku. Kuhindari mata Abidin dan melihat kearah lain. Untunglah ia tak memperpanjang. Dia berhenti mengorekku, dan memilih bicara dengan seorang gadis yang terdengar mulai menangis.

"Indah, dari reaksimu, sepertinya kamu baru tahu kalau Boss sudah menikah. Mending berhenti deh. Jangan merusak rumah tangga orang."

***

Sore harinya.

Home sweet home. Aku kembali ke rumah dua lantai yang dilengkapi empat kamar tidur. Ada kamar tidur utama di lantai atas, ada pula kamar anak di lantai yang sama. Terdapat satu kamar lagi yang difungsikan sebagai ruang rapat. Ada meja panjang di ruang itu. Terdapat papan tulis yang dilengkapi layar proyektor. Karena posisinya di bagian depan, ada jendela panjang yang menambah kesan elegan. Desainnya futuristik. Kami menyukainya.

Bagaimana dengan lantai bawah?

Di lantai bawah ada dapur dan ruang makan. Terdapat kamar tidur untuk tamu dan satu lagi untuk ART. Selayaknya rumah hunian, di bagian depan jelas ada ruang tamu. Megah sekali. Semakin megah oleh berbagai ornamen. Ada taman yang cukup luas di halaman, serta garasi yang dilengkapi gudang peralatan.

Rumah ini bukan sekadar hadiah. Rumah ini adalah bukti seberapa percayanya Pak Prasojo padaku.

"Mas, halamannya terlalu luas." Fitria hilir mudik seperti mandor. Sesekali dia peragakan tangannya, memberi gestur sedang mengukur. "Dikasih kolam renang anak sepertinya bagus."

"Yang inflatable?"

"Iya. Jadi gak mahal-mahal amat."

"Okay, masukan ke daftar belanjaan. Selain itu?"

Istriku masih hilir mudik saat aku membersihkan motor. Puteraku mengikutinya dan meniru gerakan Fitria. Lucu sekali. Dia ikut angguk-angguk. Si kecil bahkan berlagak berpikir seperti yang sedang ibunya lakukan.

"Halamannya luas banget nih. Dedek nanti harus sering main di luar. Dia gak boleh diracuni ponsel. Menurut Mas, kita bikin apalagi buat Dedek?"

Aku berpikir sejenak. "Golf mini, gym outdoor, apalagi ya?"

"Apa?"

"Track untuk mobil-mobilan RC."

Fitria menghampiriku. Dia memelukku dari belakang, mencubit pipiku, dan berbicara agak ketus. "Hayo, mau memanfaatkan Dedek? Memangnya aku gak tahu kalau semua itu hobinya Mas?"

"Ya, siapa tahu Dedek juga suka?"

"Juga suka apanya?" Istriku semakin ketus. "Mas sudah beli motor. Jangan abisin duit lagi buat hobi. Inget, Mas ini sudah Bapak-bapak."

"Kan motornya buat ke kantor? Aku gak mau jadi pusat perhatian gara-gara mobil. Dan bulan depan aku 28 tahun. Masih muda."

"Masih muda, katanya. Apa karena itu Mas beli motor sport? Kenapa gak beli motor bebek? Kan sama saja Mas dilirik cewek cewek?"

Sudut bibirku langsung terangkat. Ternyata istriku sedang cemburu. Dia tepuk-tepuk jok menumpang dan bicara setengah mengancam.

"Pokoknya awas kalau bonceng cewek. Aku jual lagi motornya."

"Jangan bilang kamu cemburu sama Indah Hartini." Aku beranjak. Kupeluk Fitria dan menggendongnya dengan posisi saling berhadapan. "Kalau aku gak ketemu kamu, aku masih pecundang di keluargaku. Rumah ini ada karena kamu terlalu cerewet. Karena kamu agresif. Coba kalau kamu istri pasif yang cuma bisa nurut. Beli gubuk saja aku gak sanggup. Dan kamu cemburu sama cewek lemot yang bisanya cuma nangis?"

Fitria meraba kedua pipiku. Dia dekatkan wajahnya hingga hidung kami saling menempel. Matanya terpejam saat hidungnya menarik napas. Dia suarakan isi hatinya setelah memberiku ciuman bibir.

"Kalau Mas ketemu cewek yang lebih baik dari aku, apa Mas akan berpaling?"

"Pertanyaan bodoh macam apa ini?"

Fitria cium bibirku lagi. Dia tatap mataku dengan wajah yang sangat teduh. Istriku sedang serius. Aku tak boleh bercanda lagi.

"Mas, aku tahu Mas menilaiku tinggi. Aku percaya sama kesetiaan Mas. Dan aku gak yakin ada cewek di luar sana yang bisa merebut Mas dariku. Tapi aku perempuan, sayang. Mas harus paham. Sebaik apapun Mas menilaiku, aku tetap bisa cemburu."

"Serius si Indah itu bikin kamu cemburu? Kamu tahu sendiri kan dia seperti apa waktu nego kemarin?"

"Iya, aku tahu. Dia cantik loh. Bodynya juga oke."

"Astaga, sayang gak percaya sama aku?"

"Aku sudah bilang aku gak pernah ragu sama kesetiannmu. Aku percaya sama Mas." Fitria meraba lagi kedua pipiku. Dia dekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, "tapi aku gak percaya sama dia."

"Fitria, dia rekan kerjaku. Hubungan kami profesional. Dan aku selalu cerita apa saja yang kami lakukan di kantor."

"Mas, aku gak sedang bicara soal Mas. Aku bicara soal Indah. Aku istrimu, Mas. Aku bisa tahu kalau ada yang naksir suamiku."

"Tahu darimana?"

"Insting!" balasnya sambil mencubit hidungku. "Pokoknya Mas harus jaga jarak! Karena kalau tidak ..."

"Kalau tidak, apa?"

Fitria tidak langsung menjawabnya. Dia mengangkat tangan, memperagakan gerakan "Bitch Slap" yang saat ini telah sempurna.

"Aku yang paksa dia jaga jarak pakai caraku! Mas mau coba?"

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now