Kejelasan Status

24.9K 2.3K 19
                                    

Seminggu sudah kami hidup di Kota Bandung. Seminggu lamanya aku menganggur karena Izra tak mau ditinggalkan. Dompetku kosong melompong. Rekeningku menangis setelah lima puluh ribu terakhirnya dipaksa keluar. Saking miskinnya, aku sampai memulung bekas rokok Mas Iwan yang tergeletak di atas asbak.

"Buah hatimu mana?"

Begitu membuka pintu, Mas Iwan bertanya padaku. Dia menemaniku di teras depan begitu lihat secangkir kopi yang masih hangat.

"Tidur."

"Sudahkan memejamkan mata, wahai anak muda?"

"Lumayan, aku tidur tiga jam pagi ini. Jadwal tidur Izra sudah normal sekarang."

Sudut bibir Mas Iwan bergerak-gerak. Penderitaanku seperti lelucon baginya. Sampai detik inipun dia masih mempertanyakan sikapku yang mau-maunya menafkahi istri dan anak orang.

"Nih, buat belanja."

"Heh? Mas Iwan salah makan? Tumben ngasih BLT."

"Itu buat istrimu," jawabnya sambil melirik Fitria yang tengah sibuk menyapu halaman. "Dia rajin membersihkan kontrakan kita."

"Dia bukan istriku."

"Kalau gak mau duit ya sudah."

Langsung kuraih dua lembar lima puluh ribuan. Aku yakin Mas Iwan segan memberikannya ke Fitria, karena terkesan seperti upah. Lebih baik aku saja yang mengambilnya.

"Hohoho, lihatlah si gengsian ini. Ck! Ck! Ck!"

Terserahlah. Aku siap disindir-sindir. Aku butuh uang sekarang. Sekalipun gengsi, kubuang jauh gengsi itu karena gengsi tak bisa menjadi makanan bayi.

"Besok sudah bisa cari nafkah lahir?"

"Iya, Mas. Aku harus bekerja."

"Nafkah batin?"

Langsung kuraih kopinya.

"Meledek sekali lagi aku buang kopimu!"

Mas Iwan terkekeh. Dia keluarkan satu pak rokok sebagai upaya suap menyuap.

"Jangan memulung putung lagi. Mulut dikau bukan asbak."

Aku batal marah.

Kuterima sesaji itu dan kembali bersikap ramah.

"Hando, bayi itu menganggapmu seperti ayahnya sendiri. Dan dikau lebih mirip ayah untuknya. Daku menyerah menasihatimu."

Tak ada jawaban lain selain senyum simpul. Mas Iwan merespon sikapku dengan senyum yang sama sembari memijit tepian keningnya.

Aku tahu ini tak masuk akal. Aku juga masih tak mengerti kenapa Izra lengket padaku. Begitu pula sikapku padanya. Aku ingin Izra selalu bersamaku. Dan kalau menjadi ayahnya adalah peran baruku, aku tak mau setengah untuk itu.

"Izra bisa ditinggal kerja?"

"Belum, Mas. Tapi tak selamanya dia terus minta digendong."

"Kalau dia nangis, gimana?"

Aku menjeda bicara karena napas agak terhela. Ada cuilan kecil di pikiranku tentang Izra yang seperti cermin dari hubunganku dengan ayahku sendiri.

Satu sisi aku tak tega melihat Izra menangis. Tapi di sisi lain, dia harus belajar mandiri karena aku harus bekerja. Mirip seperti perlakuan ayah padaku. Bisa jadi keadaan inilah yang beliau rasakan. Mungkin ayah terpaksa menyembunyikan kasih sayangnya agar aku bisa tumbuh sebagai lelaki tangguh.

Ah, mungkin.

Aku masih membenci ayahku sendiri.

"Apa boleh buat, Mas. Izra harus belajar mandiri. Aku juga belajar bersikap tega kalau dia nangis."

"Ibundanya gimana? Dikau sudah bilang ingin mengasuh anaknya?"

Ini bukan pertanyaan sulit. Aku sudah berjanji menanggung hidup mereka dan Fitria tidak menolak. Tapi itu sebatas mulut. Ada hal lain yang membutuhkan kepastian dengan hitam di atas putih.

Ini tentang hak asuh.

Aku sudah menanyakannya ke temanku yang kebetulan seorang lawyer.

"Dikau sadar prosedurnya tidak mudah, bukan?"

"Iya, aku tahu itu. Lebih baik mengerjakan apa bisa kukerjakan daripada sibuk memikirkan yang tidak penting. Kami lebih butuh uang dan kepastian."

Mas Iwan memandangku trenyuh. Dia memaklumi keputusanku mengasuh Izra saat melihat sebuah blangko di atas meja.

"Bersikap tegas itu bagus, Anak Muda. Tapi dia perempuan. Belajarlah lembut."

***

"Ada apa Mas? Kok memanggilku?"

Fitria datang setelah Mas Iwan keluar ruangan. Kutunjukan sebuah blangko di atas meja yang berstempelkan pengadilan agama. Dia pasti tahu isi blangko itu. Ibu muda itu menghindari mataku saat aku bersikap serius.

"Kamu tahu itu surat apa? Mantan mertuamu yang mengirimnya."

Ibu muda itu terdiam. Sampai detik ini dia masih bersikap canggung. Padahal aku sudah berusaha mengakrabkan diri. Dia masih pelit bicara, hingga aku benar-benar diperlakukan seperti orang asing.

"Sekarang kamu sudah mengantongi akta cerai. Hak asuh Izra ada di tanganmu. Nanti aku bantu urus dokumennya."

"Kenapa Mas Handoko sejauh ini?" Lagi-lagi, dia bersikap sungkan.

"Karena aku tak mau kehadiran kita jadi masalah, Fitria. Bu Eulis juga minta kepastian statusmu. Kamu ini masih istri atau bukan? Gak enak sama tetangga. Jangan sampai mereka mikir aneh-aneh soal kita."

Alasan inilah yang kutekankan. Fitria harus sadar status janda adalah hitam di atas putih. Status itu selamanya akan tercatat di dokumen negara. Ini masalah hukum. Termasuk komitmenku mengasuh Izra. Semuanya harus jelas di mata hukum.

"Meng—mengapa Mas mau mengasuh Izra?" Dia malah bertanya setelah aku menyampaikannya.

"Huh? Setelah apa yang kita sepakati, kau masih mempertanyakannya?"

"Tap—tapi ..."

"Tapi apa? Aku meminta izinmu secara resmi, Fitria. Aku ingin jadi ayahnya secara hukum. Memangnya dia mau ikut siapa? Ferdian yang pecundang itu? Mau jadi apa anakmu?" Aku bersikap agak ketus. Amarahku terusik karena Fitria tanpa sengaja mengingatkanku pada mantan suaminya.

Ibu muda itu masih terdiam. Badannya nampak gemetaran, hingga aku baru sadar pesan Mas Iwan. Kalimatku terlalu tegas. Fitria pasti takut. Aku terpaksa mengubah sikap agar dia nyaman padaku. Kutatap dua matanya dan bicara selembut mungkin.

"Fitria, aku juga komitmen menafkahimu seumur hidup."

Entah kenapa, matanya melebar. Fitria malah gelagapan. Tahu-tahu menangis lagi. Setelah itu senyum-senyum tidak jelas. Aneh sekali. Mungkin dia masih stress diceraikan. Lebih baik kutekankan niat awalku mengasuh Izra.

"Kamu ibunya. Dedek juga butuh kamu. Kita besarkan dia bersama-sama ya? Kamu mau kan mendampingiku?"

Perempuan itu gelagapan lagi. Kali ini senyum-senyum dengan wajah ke arah lain. Mungkin karena aku belum mandi atau entahlah.

"Kamu mau kan?"

"Apa yang harus kulakukan untuk mendampingimu, Mas?"

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now