Seorang Patriot

18.8K 1.9K 43
                                    

Ayahku bukan perokok. Dan beliau juga kurang suka melihatku merokok walau tak terang-terangan menentangnya. Selama pakai uang sendiri, katanya. Ruang tamu kami pun terdapat asbak. Ayah menyediakannya untuk kolega yang biasa berkunjung. Dan untuk malam ini, asbak itu beliau suguhkan padaku bersama kopi racikan sendiri.

"Matamu semakin tajam. Cara bicaramu juga tenang. Aku senang kamu makin dewasa." Ayah memulai kata dengan wajah kaku seperti biasa.

Tak perlu kujawab kata-katanya. Bibirku tersenyum saat rokok pertama separuh terbakar.

"Kamu tidur di sofa. Fitria tidur di kamarmu," ujar beliau sambil melirik pintu kamarku yang bersebelahan dengan ruang tamu. "Kalian pernah tidur bersama?"

"Iya, semalam," jawabku jujur. Aku tak pernah berbohong kepada ayah walau untuk fakta terburuk. "Tapi aku tak menyentuhnya. Dan belum pernah selama kami belum menikah."

"Bagus. Pegang prinsip itu baik-baik. Jangan tiru kakakmu."

Keluarga kami bukan keluarga religius. Tapi ayah mendidikku untuk selalu bicara terbuka. Beliau menghargai kejujuran. Karena latar belakang itu, aku berani menanyakan sesuatu yang saat ini sedang terlintas.

"Ayah, Izra bukan darah dagingku."

"Iya, terus kenapa?"

"Ayah tidak keberatan?"

"Izra memang berat untuk ukuran bayi 14 bulan. Kecil-kecil tenaganya kuat. Mirip kamu waktu bayi."

Ayah menghindari topik serius yang mengganggu pikiranku. Beliau terkesan tak terbuka, walau di ruang tamu hanya ada kami berdua. Aku tak ingin mengecewakannya. Aku ingin memastikan bahwa ayah benar-benar tulus, benar-benar menyayangi Izra sebagai anggota baru keluarga kami.

"Kamu pikir aku pura-pura? Kamu pikir aku hanya ingin menghiburmu?"

Aku mengangguk.

"Kamu masih kuatir?"

Aku mengangguk lagi. "Penerimaan ayah terlalu cepat."

"Terus, berapa lama bagimu menerima Izra sebagai anakmu sendiri?" Ayah membalik tanya.

"Sejak pertama bertemu. Dia langsung menganggapku seperti ayah kandungnya."

"Dan dia juga mengenaliku sebagai kakeknya di hari pertama. Aku tak berhak mengatur jodohmu atau Pram. Aku cuma menunggu kapan punya cucu. Dan setelah ada Izra, kenapa masih bertanya?"

Logika ayah sulit dibantah. Pada faktanya, pertemuanku dengan Izra seperti takdir yang telah tercoret. Perasaan itu muncul tiba-tiba. Aku masih ingat waktu pertama menggendongnya. Izra tersenyum padaku, hanya mau diam jika didekatku, bahkan kata-kata pertamanya menyebutku sebagai ayah.

Kenangan itu mengukir senyum. Kumatikan rokok di asbak bersama hembusan asap terakhir.

"Menjadi ayah ternyata rumit."

"Baru tahu rasanya?" Ayahku tersenyum. Dan senyum itu sangat jarang beliau tunjukan sekalipun kepada Mas Pram. "Handy, masih ingat nasihatku soal medan perang?"

"Iya, aku tak mungkin lupa doktrin yang ayah tanam sejak kecil."

Ayah tersenyum lagi. Beliau acak-acakan rambutku, sebuah kebiasaan lama yang beliau berikan setelah kini aku dewasa. Hatiku luluh. Detik ini beliau memperlakukanku selayaknya ayah kepada anak.

"Aku pernah terjun di Timor Leste. Di sana hidup mati seperti judi. Kalau dadunya jelek, ya sudah, aku menyusul rekan-rekan yang sudah gugur."

Aku tak menatap matanya walau nada ayah terdengar lunak. Sesekali napasnya terhela karena kenangan yang beliau ceritakan.

"Setelah Timor Leste, aku terjun sebagai pasukan kedamaian di Timur Tengah, Afrika, dan beberapa misi khusus yang orang awam tak mungkin dengar. Tapi kamu tahu, Nak? Dari semua perang itu, perang yang sebenarnya ternyata bukan di sana." Ayah menepuk dadanya sendiri. "Tapi di sini. Di diri kita sendiri."

"Maksud ayah?" Aku menoleh bingung. Ucapan filosofis itu terlalu rumit bagiku.

"Saat kamu bertemu Fitria, kamu punya dua pilihan, bukan?"

Aku mengangguk.

"Saat itulah kamu bertempur dengan dirimu sendiri. Egomu, logikamu, nuranimu, rasa kemanusiaanmu, medan perangmu ada di situ." Ayah menepuk dadaku. "Dan kamu memilih berkorban daripada lari seperti desertir. Itu yang aku sebut sikap patriot."

Aku terdiam. Kuresapi kalimat ayahku bersama sensasi yang kurasakan 10 bulan lalu. Rasa itu masih kuingat. Sensasi itu merasuk lagi seolah kemarin baru terjadi. Mataku lembab waktu mengenang masa saat hampir saja menelantarkan Fitria. Wajah pasrahnya masih kuingat. Begitupun tangisan Izra di saat aku kembali padanya.

Kenangan itu masih segar.

Terlalu segar sampai sesaknya pun mulai menghantar.

"Ayah, Hari-hari pertamaku berat sekali."

Aku mulai terbata-bata. Segala keluh kesah itu terlalu lama kupendam. Fitria memang sering menenangkanku. Namun, aku tetaplah anak di depan ayah. Beliaulah yang memaksaku untuk jadi yang terbaik. Aku lelah dan tak kuasa bersikap lemah.

"Setiap hari aku takut mereka besok makan apa. Bulan depan mereka dimana, kalau mereka sakit aku harus bagaimana, aku bahkan tak tahu harus mengeluh ke siapa. Itupun kalau aku punya kemewahan untuk mengeluh."

"Tidak apa-apa. Pria sejati menanggung semuanya di sini."

Aku menoleh lagi saat pundakku beliau tepuk. Aku berusaha tersenyum di balik pikiran yang masih kalut.

"Ayah, maaf aku tidak seperti Mas Pram."

Ayahku membalas senyum itu. Beliau mengacak-acak lagi rambutku bersama tatap bangga yang entah untuk alasan apa.

"Handy, aku memang gagal mencetakmu sebagai tentara. Tapi aku berhasil mencetak pria berjiwa besar."

Rasanya ingin menangis andai ayah mengizinkannya. Tapi kutahan air mata itu karena saat ini bukan waktunya. Jalanku masih panjang. Masih banyak yang bisa kulakukan agar ayah mengacak-acak rambutku lagi. Perlakuan ayah sekarang adalah perlakuan yang aku impikan sebagai anak gagal.

Aku terlanjur cengeng. Mataku lembab hanya karena prestasi kecil. Segera kuhapus air mata itu saat seseorang membuka pintu.

"Mas, Izra rewel."

Fitria keluar kamar bersama si kecil. Dia agak sungkan saat ayah tersenyum padanya. Begitu melihat Izra, ayah langsung jongkok di depan si cucu dadakan.

"Tole kok belum tidur? Mau tidur sama kakek?"

Izra antusias saat Ayah menggendongnya. Sepertinya tuyul itu memang menyukai ayahku, begitupun ayah yang wajah kakunya hilang entah kemana. Tidak heran, sih. Dari semua sudut di rumah ini, hanya kamarku yang steril dari atribut militer. Wajar jika Izra tak suka.

"Mas, Izra biar bobok sama Bapak, ya?"

Fitria meminta izinku. Aku jelas mengizinkannya karena ayah nampak tak puas. Padahal sudah seharian bersama Izra. Beliau masih ingin memonopoli si kecil. Berhubung anakku masih nyusu, Fitria membekalinya dengan botol ASI yang dia peras sendiri.

"Handy, segera tidur. Besok jemput wali si Nduk ke sini."

Aku mengangguk. Kulirik Fitria yang nampak ragu untuk kembali ke kamarnya. Ayahku tertawa kecil. Beliau berlalu tanpa memberi pesan apapun. Fitria memanfaatkan momen itu untuk langsung memelukku.

"Ngawur saja, kembali ke kamarmu!"

"Gak mau! Memangnya Dedek saja yang boleh rewel? Aku mau bobok di sofa."

"Kita belum nikah, malu tauk!"

"Kan cuma bobok? Gak ngapa-ngapain? Bapak tadi gak keberatan kok."

Dahiku terkernyit. Sepertinya Fitria telah menguping pembicaraan kami. Dia tak menerima sikap protes itu dan malah tiduran di atasku. Lebih parahnya lagi, dia mendekatkan wajahnya untuk mendaratkan sebuah ciuman. Kubelai rambutnya saat bibir kami bertemu. Di balik temaram lampu, kulihat kilasan cahaya yang terpantul dari matanya.

"Mas ... ada yang ganjal di bawah, besar sekali," ucapnya dengan wajah pucat.

"Salahmu sendiri. Ayo tidur, besok kita berangkat pagi!"

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now