Penumpang Gelap

816 108 6
                                    

Badan Koordinasi Penanaman Modal adalah lembaga pemerintah yang menangani investasi baik asing maupun domestik. Khususnya investasi berskala besar. Maka dari itulah Respati mengundangku ke lembaga ini. Nilai proyeknya gila-gilaan. Trilyunan rupiah. Harus dikoordinasikan dengan pemerintah karena uang itu bisa mempengaruhi kondisi keuangan secara nasional.

Termasuk mengkoordinasikan bahwa akulah pelaksananya.

Keren, bukan?

Setelah ini aku pasti tajir melintir.

Crazy Rich!

Namun, kekecewaan tak bisa kutahan. Acara rapat yang seharusnya hanya melibatkan perusahaanku dan tokoh pemerintah, entah kenapa dihadiri banyak undangan. Entah siapa pula para tamu tak diundang itu. Kepalaku pusing sendiri saat melihat begitu banyak meja-meja di ruang rapat.

"Kita kesini mau berbisnis, bukan? Kok jadi resepsian?" Mas Pram komplain. Masih mengikutiku semenjak dari tempat parkir. Dia juga kesal karena acara kami jadi bancakan orang-orang tak berkepentingan.

Aku hanya sanggup menghela napas. Bersikap sekalem mungkin saat melihat sesosok pria di dinding lorong. Sesosok pria yang merokok sendirian di samping tanda larangan merokok.

"You lihat mereka?" keluh Respati saat kami jalan mendekat. Melihat sekitaran dengan wajah ketus. "Kita kesini mau berbisnis, bukan? Kok jadi resepsian?"

"Sabar bro," jawabku agak geli. Melirik Mas Pram yang agak heran di sebelahku. Mengenalkan Kakak kandungku pada sosok kembarannya. "Mas, pria ini yang namanya Respati. Kenalan dulu gih."

***

Aku adalah direktur utama dari sebuah perusahaan besar. Tapi di ruang itu, aku duduk di meja bundar sebagai penonton. Bukan di meja panjang dimana Prasojo dan Pak Hardi mewakili kami. Entah ulah siapa. Aku jengkel memikirkannya. Bahkan, di mejaku pun hanya ada Linda sebagai pendamping perusahaanku. Ada Pak Asep dan salah satu direkturnya, ada pula Aulia yang didampingi seorang asisten.

Mas Pram di mana?

Dia berdiri di tembok ruangan. Berlagak jadi pengawal bersama beberapa orang yang nampaknya petugas jaga. Sama-sama memakai dress code. Keren sekali. Terlalu keren sampai menggerus eksistensiku yang sudah redup.

"Bu Linda, tolong fokus," tegurku pada perempuan yang masih bertatapan dengan sesosok bule berjilbab. "Nanti saja berantemnya. Kita ada rapat."

Semua peserta telah duduk di atas kursi. Hanya segelintir yang kukenali di ruang itu. Beberapa adalah tokoh pesaing bisnis, beberapa lagi wajah politisi yang sering muncul di televisi.

Sisanya?

Aku tak kenal. Terlalu banyak wajah asing. Salah satunya pria arogan yang duduk manis di sebelah kami. Sosok pria buncit yang didampingi wanita jangkung. Mungkin 175. Lebih tinggi dari Linda.

"Nama saya Kevin Priambodo. Dan saya direktur utama perusahaan kontruksi di Jakarta." Dia sodorkan tangan karena kami bersebelahan. "Nama anda siapa?"

"Handoko Dwi Dharma," balasku kalem. Berusaha ramah pada pria itu. Kujabat pula asisten perempuan yang nampaknya seumuranku.

"Astrianda Dwi Hartodinejo, Manajer HRD di perusahaan Pak Kevin."

Awalnya, aku masih ramah. Perasaanku mulai masam saat si gendut makin arogan.

"Wanita ini 27 tahun sudah jadi manajer. Keren, bukan? hahahaha!" sambung si direktur sambil merangkul sang asisten. "Usia anda berapa, Mas Handoko. Dan jabatan anda sebagai apa? Security ya?"

Wajahku sontak tegang. Pria itu tersenyum sinis saat aku menatap datar. Mood-ku telalu buruk. Aku malas berendah hati pada pria bermuka blewah.

"Direktur Utama PT. Griya Cipta Kontruksi, pimpinan RUPS PT. Teruna Cipta Furniture, Komisaris Utama PT. Semen Nusa Sentosa, pemegang saham PT. Setyo Indo Medika dan Komisaris Utama PT. Silver Bridge Indonesia. Dan usia saya 30 tahun."

***

Jujur, aku masih tersinggung karena kacaunya acara kami. Aku makin tersinggung setelah menyadari orang-orang bicara buruk tentang Respati. Sebagian besar para politisi yang sering muncul di debat politik. Sebagian lagi pebisnis gelap yang nama perusahaannya tidak terdengar. Mungkin perusahaan subkontraktor yang mengerjakan proyek tak jelas.

Salah satunya si muka blewah di sebelahku.

"Respati itu masih muda. Belum berpengalaman. Mudah disuap."

"Bapak yakin kita dapat kue?" balas si wanita jangkung. Cukup keras untuk kudengar.

"Mana berani dia nolak? Kita di-backing Partai Tiga Arah. Si Respati itu pasti mau bagi-bagi proyek. Tenang saja."

Orang-orang itu sangat berisik. Mereka baru diam saat seseorang masuk ruangan. Orang itu adalah kepala BKPM yang diikuti sepasang pengusaha dari Amerika.

Siapa lagi kalau bukan Respati dan Herlyn?

"Lebih ganteng mana si Respati dengan si Cina ojol suamimu itu?" kata si muka blewah. Bergosip lagi di acara formal. Si wanita jangkung alihkan muka karena mungkin merasa terhina.

Ada-ada saja.

Perhatianku mulai teralih saat Respati sudah berdiri di depan slide. Tak langsung duduk di kursinya sendiri. Dari gelagatnya, pria itu sedang tak mau buang waktu. Respati memaksakan diri untuk tersenyum. Aku sangat tahu sekesal apa perasaannya.

"Kita skip acara pembuka. Tak perlu repot-repot seremonial. Waktu saya sangat terbatas."

Respati nampak sibuk memencet ponsel yang terhubung dengan proyektor. Dia lewati halaman-halaman yang dianggap tidak penting. Pria itu baru berhenti saat proyektor menunjukkan gambar kota paling mewah di seluruh dunia.

"To the point saja, Dubai berkembang pesat karena dipegang oleh swasta. Salah satunya Silver Bridge Corporation. Perusahaan kami. Dan saat ini, anda semua berhadapan dengan saya sebagai CEO."

Suasana langsung hening. Tak seorangpun berani bicara hanya karena paragraf pembuka. Proyektor pun berganti gambar. Peserta semakin diam saat layar menampakkan jalan layang di antara pencakar langit.

"Kami memegang otorita jalur Sheik Zayed dari Dubai ke Abu Dhabi. Tak perlu bayangkan berapa totalnya. Kami mau bangun jalan sejenis itu di Indonesia. Ada yang perlu anda tanyakan?"

Singkat, padat dan sangat jelas. Tak ada yang berani acungkan jari. Baik itu swasta, wartawan atau para politisi yang tadinya paling berisik. Nilai proyeknya tidak main-main. Respati menguasai jalannya rapat hanya bermodal satu gertakan.

Apalagi orang di sampingku. Dia bahkan tak berani mendongak setelah tahu jabatan Respati. Jabatan baru yang dia dapat setelah melepas kewarganegaraan.

Seakan tak puas menggertak mereka, Respati membuka slide lain yang menunjukan sebuah angka.

"Ini nilai proyek terbaru kami untuk tambahan jalan dari Syeik Zayed Intersection. Total panjangnya sebelas kilometer. Nilai proyeknya mencapai 216 juta dollar. Dan kami berencana membangun 220km jalur di Indonesia dengan skema otorita."

"Ratusan juta dollar hanya untuk 11 km? Dan dia mau bangun jalan 20 kali lipat lebih panjang?" Orang sebelah kontan bergumam.

Si muka blewah tersenyum sendiri seperti idiot.  Begitupun pengusaha lain yang notabene titipan partai. Aku yakin, mereka pasti berpikir duit itu Respati bagi seperti bansos. Dua milyar dollar tidaklah kecil. Kira kira 30 trilyun kalau di rupiahkan.

Andai uang itu dibelikan rengginang, satu kota bisa tenggelam.

"Proyek ini tidak saya lelang."

Sontak saja, senyum mereka memudar. Uang yang mereka inginkan langsung menguap karena proyek tidak dilelang. Alias, Respati menunjuk sendiri perusahaan mana yang akan mengerjakannya. Para peserta makin ternganga. Terlebih saat Respati menujuk mejaku dan bicara dengan lantangnya.

"Kami menunjuk PT. Griya Cipta Kontruksi sebagai operator mendampingi kementerian PUPR."

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang