Kolase Hidup

7K 1.1K 43
                                    

Apa yang kurang dari hidupku?

Puteraku cerdas, rumah tanggaku harmonis, pergaulanku meningkat, akur dengan saudara dan orang tua, karirpun makin melejit. Semua pencapaian itu berasal dari satu keputusan tuk menanggung hidup orang asing. Dua orang yang saat ini jadi harta paling berharga untuk seorang pria biasa.

Hidup adalah keputusan, bukan? Tuhan seakan menguji apakah sifat egoisku bisa dikalahkan oleh nurani. Andai saja aku memilih tutup mata pada Izra dan Fitria, Tuhan pasti memberiku takdir berbeda.

"Yaaahh! Geliiii!"

"Biarin! Ayah kangen, tahu?"

"Geli! Gak mau!"

Izra meronta saat kucium perut endutnya. Sepulangnya dari panti, pikiranku berubah drastis. Kini aku tahu alasan Mas Iwan memintaku cuci tangan di masa lalu. Dia dan Mas Pram berencana membawa Izra dan ibunya di panti asuhan.

Namun, aku keras kepala. Izra mencuri hatiku sejak pertama menggendongnya di kereta. Sesok bayi rapuh yang mengenaliku sebagai seorang ayah. Malaikat pertama yang menyelamatkanku dari depresi, rasa rendah diri, dan masa depan yang memusingkan.

"Nanti ikut ayah main ke rumahnya Pak Dhe Iwan ya?"

"Ade Wan?"

Bola matanya berputar ke atas. Si kecil itu mungkin lupa pada Paman yang menyayanginya selama bayi.

"Disana banyak teman main. Ntar ikut ke sana sama Bunda juga."

"Iyaaaa!"

"Izra anaknya siapa?"

"Yayaaah!"

Andai ada jasa pencucian otak, aku ingin menghapus ingatan bahwa dia bukan anak kandungku. Itu fakta menyedihkan yang selama ini kupendam sendiri. Walau wajah kami mirip, walau dia mencintaiku sebagai ayahnya, kenyataannya, aku dan Izra dipisahkan dinding DNA.

Dadaku terasa sesak memikirkannya. Entah kenapa aku jadi melankolis. Entah kenapa pula istriku membuka baju dan menyodorkan perutnya padaku.

"Kok dedek terus? Aku kapan? Sini, cium perutku."

"Kebiasaan! Iri sama anak sendiri."

"Mas empat hari ke luar kota, aku gak diapa-apain. Masa cium perut saja gak mau?"

Aku tak mau berdebat. Izra bahkan mengalah saat ibunya jadi balita. Kucium lembut perut istriku. Kuhirup pelan aroma tubuhnya yang selama ini manjakan hidung.

Terlebih saat rambutku dia belai.

Tiba-tiba, dia dorong kepalaku hingga ciumanku berubah sasaran, ke sebuah tempat di mana wajahku sering kali dia benamkan.

"Bisa sabar gak sih?"

"Aku pingin hamil." Tak ada hujan tak ada angin, istriku menawarkan berkembang biak. "Bikin adiknya Izra yuk! Masa subur nih."

"Jangan dulu, Dedek belum waktunya jadi kakak. Dan kamu masih kuliah."

"Aku sudah mau berhenti kerja loh."

"Kenapa sih ngebet banget mau hamil?"

Fitria diam sejenak. Dia menjawab, "Mas gak mau punya anak sendiri?"

DEG!

Napas panjang keluar perlahan dari mulutku. Jarang-jarang aku marah pada istri hingga kusembunyikan amarah itu di balik ciuman tak lagi diam. Ciuman itu perlahan mengarah ke atas. Fitria mulai tersengal saat bibirku berjalan melingkari bagian tubuhnya yang paling menawan.

"Mas ... Dedek belum bobo ..."

Ciuman itu perlahan membentuk spiral. Dari lingkar terluar sampai puncak tujuan berwarna hitam. Aku ingin menghukumnya. Kuhentikan ciuman itu saat sedikit menyenggol sasaran. Seperti kebiasaannya, Fitria menjambak rambutku saat tiba-tiba aku berhenti.

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang