Kedekatan Ini

21.3K 2.2K 63
                                    

"36 ... 37 ... 38 ..."

Keringatku menetes di lantai. Kulafalkan deretan angka mengiringi gerakan tubuh. Otot lenganku terasa tegang. Otot dadaku makin mengencang setelah push up 100 kali.

Inilah rutinitas lama yang kumulai lagi akhir-akhir ini. Kebiasaan yang ayah tanamkan semenjak kecil. Push up 100 kali, jogging 10 km, Sit Up 100 kali, Russian Twist, Heel Touch, dan semua gerakan yang bisa kulakukan tanpa seperangkat alat gym. Porsinya lumayan banyak. Aku bangun lebih pagi saat suasana masih gelap.

Pertanyaannya, kenapa aku rajin olah raga?

Semua terjadi karena Fitria.

Wanita itu makin terbuka kepadaku. Dia sudah malu-malu seperti kemarin. Bisa dibilang mulai agresif. Dia sering menyebutku suaminya, mengandeng tanganku tanpa diminta, bahkan bersikap galak seperti layaknya istri betulan.

Seharusnya aku senang. Tapi aku tak pengalaman. Pacaran saja belum pernah. Aku terlalu sibuk dengan hidupku sendiri, sampai baru sadar aku sudah setua ini.

Aku baru menginjak 26. Di usia itu, aku baru pertama merasakan jatuh cinta. Aku ragu. Entah apa Fitria mau membalas perasaanku. Aku minder karena wajahku tidak setampan Ferdiansyah.

Aku bukan pria populer bermuka glowing ala oppa-oppa Korea. Wajahku jauh dari feminim. Bentuk mukaku persegi, alis tebal tajam, dagu brewokan, dan bulu di sekujur tubuh karena kelebihan hormon testosterone. Terutama di bagian dada. Selaras dengan tinggi badan dan otot kekar terbentuk. Bisa dibilang, standar tampan untukku sudah ketinggalan jaman, sampai Mas Iwan sering berkata bahwa aku mirip Bread PITT.

Jangan salah, Bread itu artinya roti. Dan PITT itu singkatan dari Pria Idaman Tante Tante.

Alias gigolo.

Tapi hanya itu nilai jualku. Hanya itu kelebihan yang harus kujaga dengan rajin berolah raga. Hanya itu rasa percaya diriku, walau aku tak yakin pria sepertiku adalah tipe idaman Fitria.

"Kyaaaaa!"

Orang yang kupikirkan sedang berteriak di depan ruangan. Fitria menutup wajahnya dengan kedua tangan, sambil mengintipku dari sela-sela jarinya.

"Mas ini ngapain sih telanjang dada?"

"Olah raga. Salah sendiri asal masuk. Ketuk pintu, kek."

"Pakai baju dong!"

"Iya, dasar bawel." Aku menjawab sambil mengenakan kaos militer. "Ngapain pagi-pagi ke sini?"

Fitria menghampiriku dengan wajah ke arah lain. Dia serahkan sebuah bingkisan yang sangat mengejutkanku begitu kubuka isinya.

"Woaaa, keren! Serius semua ini cuma dua ratus ribu?"

"Iya, Mas kan ulang tahun?" jawabnya sambil memamerkan baju yang sedang dia kenakan. "Mas suka?"

Apa yang tak kusuka darinya?

Tidak ada!

Semuanya aku suka!

Tak terasa hampir lima bulan kami hidup di Kota Bandung. Perasaanku semakin jelas. Fitria yang dulunya hanya figuran, saat ini kupikirkan setiap malam. Mungkin karena kami hidup bersama atau entahlah. Wanita itu semakin cantik di mataku.

Dada besarnya, cara tertawanya, senyumnya, wajah ngambeknya, perhatiannya, dada besarnya, dan nya nya lain semua kusuka.

Tahu yang paling kusukai darinya?

Dada bes ... maksudku kecerdasannya. Fitria solusi dari masalah keuangan kami. Saat ini mulai stabil walau gajiku sama saja sebagai Supervisor. Dia tak pernah mengeluh. Walau kami punya tabungan, pengeluaran kami masih berkutat di barang loakan.

Mendadak AyahOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz