Pasangan Serasi

5.5K 750 87
                                    

"Because I love her. Simple."

Wajah tiga wanita di ruang itu berubah total. Dari wajah masam jadi wajah tersipu. Aku baru tahu bahwa mood wanita mudah berubah hanya karena ucapan cinta. Sekalipun untuk wanita se-elit Herlyn. Tapi mood itu tidak berlaku bagi Prasojo, pria kaku yang hanya peduli urusan bisnis. Respati pun menyadarinya.

"Oh, jadi karena itu Bapak menikah?"

Respati tersenyum kalem. Dia menggunakan bahasa berbeda saat bicara dengan orang berbeda pula. Pria itu tahu bahwa Prasojo masih menganggap perempuan hanyalah beban. Berhubung Prasojo perfeksionis, Respati memberinya alasan detail.

"Pak Prasojo, banyak kemudahan yang kita dapatkan dari pernikahan. Potongan pajak, asuransi, dan kepentingan administratif lain. Termasuk portfolio kita di perusahaan. Pernikahan itu seperti bisnis, Pak. Tapi yang kita investasikan bukan uang. Melainkan sisa waktu seumur hidup. Andai saya hidup sampai umur 80 tahun, saya serahkan 48 tahun hidup saya ke wanita ini. Kalau sedetik waktu senilai 10 dollar, nilai investasi saya kira-kira satu koma lima milyar US dollar ke wanita ini. Silahkan anda rupiahkan."

Mata Prasojo melebar. Untuk ukuran pria yang hanya tahu hitungan uang, penjelasan Respati masuk akal. Dia pun mengangguk-angguk saat Respati menjelaskan lagi.

"Jadi Pak Prasojo, kalau saya sudah investasikan 15 milyar USD ke perempuan ini, saya pakai logika bisnis. Apakah wanita ini bisa mendapingi saya untuk menghasilan uang lebih banyak dari investasi tadi atau tidak? Kalau iya, dia layak dinikahi. Kalau tidak, ain't worthy at all. Saya ada bukan untuk wanita biasa."

Kontan saja, aku menoleh Fitria. Mataku melebar dan mulutku makin ternganga. Karena istriku aku bisa seperti sekarang. Dia investasi terbaik dalam hidupku. Seperti gaya Respati bersama Herlyn, aku merangkul Fitria dan tersenyum dengan mesranya. Menyisakan dua orang yang ekspresinya seperti robot. Kaku. Seorang Linda dan Prasojo. Dua makhluk itu seperti anti cinta-cintaan. Atau seperti itulah yang terlihat. Linda mulai bicara setelah lama memberi jeda.

"Pak, itu kan bagi laki-laki. Bagaimana bagi perempuan seperti kami?"

Respati melirik istrinya, memberi kesan bahwa laki-laki tidak berhak menjelaskan. Herlyn pun menjawabnya dengan logat yang mulai fasih.

"Bu Linda, waktu saya kecil, saya membayangkan jadi tuan puteri untuk sosok pangeran tampan. Sekarang saya bukan tuan puteri lagi. Saya adalah ratu. Saya sekolah tinggi, meniti karir, mengembangkan kepribadian, wawasan, pergaulan, agar saya sepenuhnya menjadi Ratu. Dan ratu manapun akan memilih seorang raja, bukan?"

Tanpa malu-malu Herlyn cium pipi suaminya.

"Lupakan omong kosongnya tentang investasi. Saya menikahi pria ini karena dia seorang Raja."

Andai pinggangku tak dicubit Fitria, aku pasti tepuk tangan dan teriak "Sugoi!" seperti Jared. Aku antusias hari ini. Mirip anak kecil sampai-sampai Fitria waspada. Bahkan Izra lebih tenang dariku. Meski sayangnya, antusiasme itu tak seheboh sepasang orang di samping kami.

Mata Prasojo berkaca-kaca. Begitupun mata Linda. Entah sejak kapan mereka duduk makin berdempet. Senyum-senyum tidak jelas. Aku kaget waktu keduanya berbicara dengan waktu hampir bersamaan.

"Saya akan cari sosok istri seperti istri anda, Pak Respati. Disiplin, bijak, sanggup menjadi partner di rumah atau di kantor. Kalau dia cantik, itu bonus."

"Saya akan cari tipe suami kharismatik seperti suami anda, Bu Herlyn. Tidak banyak bicara saat bekerja. Dan sekali bicara, ucapannya didengarkan semua orang."

***

Dua hari kemudian di kantor.

Fitria agak ngos-ngosan waktu kutuntun keluar mobil. Tapi bibirnya tak berhenti tersenyum. Terutama saat melihat Linda sedang bicara dengan Prasojo di lobi kantor. Bicara bisnis. Sangat wajar seorang PR berdiskusi dengan seorang pemegang saham.

"Mas, mereka serasi, ya? Sama-sama anti romantika. Sama-sama makhluk serius. Tapi kok kelihatan romantis banget ya di mataku?"

Watak istriku kumat lagi.

"Berhenti menjodoh-jodohkan orang."

"Linda kan kakak kita, Mas bantuin lah dia dapat jodoh. Pak Prasojo itu cool banget loh. Cocok sama Mbak Linda."

Bola mataku berputar ke atas. Kutuntun istriku sampai kami tiba di lift ruang direktur. Seperti agenda, seseorang menunggu kami di depan pintu. Seorang wanita anggun penuh senyum. Calon pekerja baru yang baru masuk hari ini.

"Ruang pengembangan ada di sana." Kutunjuk pintu yang agak jauh. Seseorang keluar dari pintu itu dengan mata terkantuk-kantuk.

"Nih," kata Mas Iwan cuek. Menyerahkan hasil kerjanya kemarin. Dia berlalu begitu saja dan menunggu kami di depan pintu ruangannya. Menanti pekerja baru yang tidak lain kakak sepupuku.

Cuek sekali?

Mbak Dyah sangat cantik. Wajahnya kalem. Tapi si ceking itu melihatnya dengan mata datar. Tak tertarik sedikitpun. Dia remehkan wanita itu karena menganggapnya sebagai buah nepotisme.

"Daku tak rela singgasana ini dinodai wanprestasi. Tapi siapalah daku? Hanya sang jalang tanpa nama dan griya jika engkau memerintahnya, Pak Ketum."

"Pak Iwan ..."

Aku sudah terbiasa dengan gaya bahasa itu. Tapi tidak untuk Mbak Dyah. Mata kalemnya terbelalak setelah Mas Iwan mengucapkannya. Entah ada apa. Terlebih, saat Direktur itu membuka ruangan. Bibir Mbak Dyah kontan terbata kala dia berucap kata.

"Seberapa lirih aku mengigau? Di balik asa dan suka cita. Apakah, aku harus bertanya kepada awan? Kenapa ada neraka gelap di tempat suci ini?"

Sialan, aku lupa dia siapa.

Detik itu juga, entah kenapa aku melihat bunga-bunga bermekaran di atas bukit. Entah kenapa pula aku melihat sosok perempuan mendayu lirih di bukit itu. Menitikkan air mata saat pintu itu Mas Iwan buka. Bibirnya makin terbata kala melihat interiornya. Jemarinya menyentuh bibir, interior itu telah membalik dunianya yang dipenuhi keteraturan.

"Kenapa ini harus terjadi? Kenapa ada depresi dan keputus asaan di depanku? Bagaimana aku mengubah dunia jika karsaku saja harus ternoda, hiks!"

"Adinda, Dyah, dikau ..."

Mas Iwan terpana. Sebelah matanya ikut basah. Dia tak percaya sosok cantik itu seakan merasuk ke dunianya. Apalagi aku. Entah sejak kapan isi benakku jadi puitis. Seakan terseret prosa dua pujangga yang tenggelam di laut sastra. Kutoleh sang ratu hati dan menatapnya penuh harap.

"Wahai sang telapak surga buah hatiku, tampar wajahku yang hina ini. Sebelum daku sama anehnya seperti mereka."

Mendadak AyahTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon