Informasi Heboh

864 124 12
                                    

Rumah Respati sangatlah megah. Taman belakangnya saja lebih luas dibanding rumahku di Kota Bandung. Ada kolam renang, lapangan basket, sirkuit go-kart, sampai helipad tersendiri di atap rumah. Serius, tempat landasnya helikopter.

Aku betah di rumah itu. Apalagi Mas Pram. Dia menghabiskan waktunya bersenang-senang di rumah orang.

"Aku pikir kamu pria sederhana."

Respati beranjak dari tepi kolam, membolak-balik daging di atas griller. Dia masih bertelanjang dada dengan hanya bercelana pendek. Begitupun aku dan Mas Pram. Kami sama-sama santai.

"Kita hidup di Indonesia, Bro. Orang-orang di sini mudah kagum dengan kekayaan. Termasuk para politisi dan pejabat pemerintah. Kita harus terlihat kaya kalau mau meyakinkan mereka."

Ucapan Respati tidaklah salah. Aku saja megap-megap waktu pertama masuk rumahnya. Terlalu mewah. Istriku sampai-sampai tak mau pulang. Si imut itu berpakaian santai menemani Linda dan istri sang tuan rumah.

Apalagi Izra.

Pengacau kecil itu masih salto di kejauhan.

"Kalian bebas menggunakan rumah ini kalau aku ke Amerika."

Aku dan Mas Pram saling bertatapan. Senyum-senyum tidak jelas.

"Serius?" sahut kami bersamaan.

"Daripada gak ada yang pakai?"

Respati bukan pengusaha kaleng-kaleng. Meski kikir dengan orang lain, dia sangat royal pada orang-orang yang dianggap dekat. Termasuk kepada kakakku. Entah kenapa pengusaha itu menyukainya.

Padahal baru kenal.

"Pram, Linda usianya lima tahun lebih tua dari you, bukan?"

"Istrimu juga? Kok selera kita sama, ya?"

Mataku melotot begitu sadar persamaan mereka berdua.

"Oh iya, betul! Mbak Linda sama Bu Herlyn seperti kembar. Usia sama, tinggi mereka sama, gayanya, berat badan dan ...."

"36B!" Dua keparat itu menjawabnya bersamaan.

Dahiku terkernyit. Mas Pram dan Respati juga memiliki gaya yang sama. Hanya saja, jika Mas Pram ganteng feminim, Respati agak maskulin. Pria itu punya bekas brewok sepertiku. Wajahnya seperti orang arab. Berbanding terbalik dari kakakku yang agak oriental. Dua orang itu jenis-jenis manusia yang dijodohkan gadis gila pecinta BL.

"Kamu punya rencana untuk ini?" Kakakku bicara.

"Sudah pasti."

"Oh, sepertinya langkahmu sudah berjalan sejak dulu."

"Sejak kuliah."

Saat mereka bicara, aku belum move on. Pikiranku masih gelisah walau tubuhku sedang bersantai. Semua gara-gara rapat kemarin. Aku terancam kehilangan penghasilan andai proyek itu Respati batalkan.

Bukan hanya aku, Mas Pram pun ikutan stress.

"Ratusan milyar, Le. Ratusan milyar kalau proyek kemarin kamu kerjain," bisiknya. Masih jadi setan di telingaku. "Bagaimana kalau kita culik mereka satu persatu? Kita kubur di tengah hutan?"

Aku yang biasanya merasa bodoh dengan ide Mas Pram, kali ini sampai mengangguk. Uang itu terlalu banyak untuk dilewatkan. Kami juga masih tersinggung karena politisi itu justru menfitnah Respati setelah berulah di meja rapat.

Mengesalkan sekali.

"Ayo Mas. Aku yang pesan karung mayat."

Respati senyum-senyum mendengar kami berkisik-kisik. Dia tepuk pundakku dan berkata, "santai saja, proyek ini pasti jalan."

"Lawan kita politisi, Res. Lebih masuk akal berdebat dengan orang gila daripada dengan mereka."

"Tidak semua politisi itu badut. Banyak juga yang punya otak. Dan politisi-politisi jujur itu ada di pihak kita."

"Aku pikir kamu benci politik."

Aku masih menggerutu saat Respati mengajakku agak menjauh. Masa Pram memilih tak ikut. Dia memberi kesan bahwa topik terlalu pribadi untuk boleh dia dengarkan. Padahal, Respati sendiri yang mengajaknya.

"Tenang saja, aku punya cara sendiri membeli kakakmu."

"Membeli?"

"Nevermind, kita bahas yang lain."

Setelah sampai di ruang rapat, dia beberkan kertas besar yang berisikan tulisan tangan. Ada gambar-gambar pula di kertas itu. Ada bagan, garis-garis antar tulisan, juga nama-nama yang dia lingkari dan dia coret pakai spidol.

"Aku memang benci politik. Tapi aku suka perang. Kamu suka perang?"

"Iya," jawabku tegas.

"Suka berantem?"

"Hobiku sejak kecil."

"Mau bermain curang?"

"Bakat sejak lahir."

Respati menyeringai. Dia tulis namaku di kertas itu, menulis pula gambar-gambar anak panah seperti pelatih bola memaparkan strategi mencetak goal. Pria itu jenius. Rencananya sangat matang. Aku tercengang saat Respati memberiku cara-cara licik menang persaingan di dunia bisnis. Semuanya tertata. Aku siap melakukannya.

Hanya saja, rencana Respati terlalu gila untuk bisa aku terima.

"Gimana, Le?" Mas Pram kontan bertanya. "Kok wajahmu pucat gitu? Kok kakimu sampai gemetaran?"

Aku masih menelan ludah saat Mas Pram menanyakannya. Respati gila! Dia psikopat. Pengusaha sama gilanya seperti kakakku yang bisa menembak orang tanpa berkedip.

"Mas, Indonesia bakalan gempar setelah ini."

"Oh, kirain apa. Ya wajib dong."

Mas Pram tidak kaget sedikitpun saat kubeberkan rencana itu. Tapi aku masih tak nyaman. Ada informasi lain yang membuatku gemetaran. Kontan saja, Mas Pram agak muram saat kubeberkan informasi itu, yang ternyata sangat berkaitan dengan dirinya.

"Mas, ini gak apa-apa?

"Iya. Besok aku jemput ayah dan ibu."

"Serius? Mas dimanfaatin loh."

"Aku dari dulu memang pion catur."

***

"Saya terima nikah dan kawinnya Melinda Kusuma binti Setyo Dharmosasongko dengan Mas kawin $3237 dan seperangkat alat sholat dibayar tunai."

"Sah?"

"Sah!"

Aku menghela panjang saat kakakku mengecup mesra kening wanita yang hatinya sekuat baja. Ekspresi Linda sama persis seperti Herlyn di ijab kabulnya. Mas Pram pernah membuat kesalahan fatal, mempermainkan hati wanita yang sebelumnya sangat tertutup. Setelah itu memperlakukannya seperti ban serep.

Kejam, tapi Linda tak keberatan.

Apalagi ibuku yang terlajur sayang ke wanita itu.

"Pak, Pram akhirnya nikah, Pak. Anakku lanang akhirnya nikah."

"Iya, Bu. Jangan dimusuhi lagi, ya? Anak kita sudah tobat."

Acara ijab kabul itu hanya  mengundang segelintir orang. Aku masih terdiam. Wajahku terasa tegang, karena acara itu seperti mirip papan catur. Respati sedang show of siapa dia ke kakakku. Di balik acara yang seharusnya bahagia, dua psikopat menunjukkan wajah dingin.

"Kamu puas, sekarang?"

"Belum. Ini hanya awal. Banyak yang perlu kita kerjakan setelah ini."

"Kenapa kau libatkan Airin?"

"Kenapa tidak? Cheer up, Pram. Aku sedang menghapus satu-satunya perbedaan di antara kita. Be a man, brother."

Wajahku semakin tegang saat melirik gadis cantik di antara ayah dan ibu. Informasi tentangnya tak pernah muncul dari kakakku. Melainkan dari mulut Respati. Usianya delapan tahun. Aku pernah melihatnya tiga tahun lalu di panti asuhan milik Mas Iwan.

Ternyata, gadis itu keponakanku.

"Nduk, Bapakmu nikah, Nduk. Kamu punya ibu, sekarang."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now