CEO Baru

7.2K 1.2K 50
                                    

"Anda masih berani mengusir saya?"

Gerakan halus bisa kulihat dari lehernya. Perempuan itu menelan ludah. Kalau dia mengusirku, berarti dia berani menentang Respati. Tapi kalau dia setuju aku bicara di tempat ini, dia harus siap suaminya dipermalukan.

Keraguan bisa kulihat dari matanya. Dia menoleh Prasojo dan memberinya tatapan mengancam.

"Urusan anda dengan saya, Bu Nyoto." Aku mengingatkan. "Syarat dari Pak Respati sudah jelas. Kalau anda mau perusahaan ini dibiayai, lebih baik anda diam dan biarkan saya bekerja!"

Perempuan itu terdiam lagi. Dia sangat tahu bahwa suaminya pasti dipecat kalau rapat ini kami lanjutkan. Wajah gelisahnya makin terlihat saat berkas kasus si Nyoto aku buka di atas meja.

Ludahnya kembali tertelan.

Dia masih bicara meski sudah kuperingatkan.

"Saya setuju perusahaan kita didanai. Tapi saya tidak setuju manajemennya dirombak. Suami saya harus tetap jadi direktur. Kalau bisa naik jabatan."

DEGG!

Darahku langsung berdesir.

Entah setebal apa make up si tua itu sampai tak punya rasa malu.

Spontan kulirik Respati. Senyum pria itu memudar, berganti wajah beku yang dia tunjukan ke perempuan itu. Keringat dinginku pun mengalir. Begitupun keringat Prasojo yang juga merasa bahwa Raspati akan menarik keputusannya. Pada akhirnya, aku tak punya pilihan selain memberinya "sedikit" gebrakan.

Brak! Secara harfiah kugebrak meja sekeras-kerasnya.

"Anda sudah gila, Nenek?"

Semua orang kaget termasuk Prasojo. Apalagi si wanita tua yang tak akan menyangka dia dibentak pekerja rendahan.

"Bu Nyoto, anda pikir Pak Respati ke sini untuk mengemis? Anda pikir beliau yang butuh perusahaan kita sampai anda seenaknya mengubah syarat? Berani sekali anda menghina beliau?"

Bibir perempuan itu terbata-bata. Dia menatap Respati yang tak lagi ramah padanya. Dia tahu wajah masam itu. Dia makin gelisah saat semua orang menatapnya dengan sorot menyalahkan.

"Maaf Pak Respati, sepertinya Nyonya Nyoto tidak suka anda di sini."

Si tua itu langsung berdiri saat kubukakan pintu untuk Respati.

"Tolong Pak, jangan batalkan investasi ini!" ucapnya memohon.

Aku menatap Respati yang makin masam. Syukurlah beliau kembali duduk setelah aku memintanya.

Namun, aku masih diam di tempat. Kutatap tajam perempuan itu, dengan tangan masih memegang knob pintu.

"Kalau anda tidak mau Pak Respati keluar ruangan, silahkan anda yang keluar."

***

Suasana makin mencekam setelah Mak Lampir keluar ruangan. Para peserta masih menatapku dengan apalah benak mereka. Tindakan itu memang agak berlebihan, tapi aku tak punya pilihan. Para pesertapun menarik napas panjang karena calon investor masih memberi kesempatan.

"Apa masih ada di antara anda yang tak terima saya bicara di sini?" ucapku setegas mungkin. Kuarahkan jari telunjuk pada daun pintu yang masih mengayun. "Pintu keluarnya di sana."

Para peserta terdiam. Terutama orang-orang bermasalah termasuk si Nyoto. Kubuka lagi berkas investigasi yang kukumpulkan enam bulan ini. Tapi belum sempat membacanya, Prasojo lebih dulu angkat suara.

"Rapat ini selesai. Silahkan kembali ke ruangan masing-masing." Prasojo ambil keputusan. Ia sudahi rapat itu dan membubarkan seluruh peserta kecuali lima orang di meja VIP.

Orang-orang itu adalah aku, Linda, Respati, Herlyn dan Prasojo sendiri.

Nampaknya, Prasojo masih menjaga nama baik pamannya. Walau dia sangat benci pada orang itu, dia tak mau mempermalukan Nyoto di depan tamu undangan. Jujur saja aku kecewa. Chairman itu membaca berkas yang belum sempat kupaparkan.

"Narkoba, perjudian, jasa preman, kolusi dengan kompetitor, nepotisme, suap menyuap ... anda benar-benar mengerjakan PR, Pak Handoko." Prasojo tertawa sembari memijit keningnya sendiri. Dia angkat sebelah alis saat melirik ke arah Respati. "Saya sewa jasa orang ini untuk bersih-bersih manajemen. Siapa sangka dia berani mengusir salah satu shareholder? Konyol sekali, hahahaha!"

Respati ikut tertawa. Dia tepuk pundakku dan berkata, "saya suka orang ini, Pak Prasojo. Boleh saya bawa ke Amerika?"

"Jangan Pak, saya punya rencana sendiri untuk Pak Handoko."

Respati terbahak-bahak. Bahkan gaya tertawanya pun mirip kakakku. Dan sama juga seperti Mas Pram, dia bersikap agak selengekan setelah membuang formalitas.

Pria itu mengajakku keluar ruangan menuju lorong. Dengan santainya dia merokok meski di lorong itu sudah tertulis logo larangan. Dia bahkan menawariku rokoknya, seakan sudah tahu bahwa mulutku juga mulut seorang perokok.

"Pak Handoko, sebenarnya saya tadi sudah malas berurusan dengan perusahaan ini."

"Karena Bu Nyoto?"

Respati tidak membalas sebuah jawaban yang sudah jelas. Dia sandarkan badannya ke dinding, saat mulutnya menghisap rokok dalam-dalam.

"Dan anda tahu kenapa saya berubah pikiran?"

"Karena Pak Prasojo?"

Respati menggeleng sambil menghembuskan asap nikotin.

"Beliau memang sahabat saya. Tapi bisnis tetaplah bisnis."

"Lalu, kenapa masih mau investasi?"

"Karena anda," jawabnya singkat.

Otakku berpikir keras. Respati menjawab pertanyaannya sendiri karena aku lama terdiam.

"Jenis-jenis perusahaan yang paling saya hindari adalah perusahaan yang berafiliasi dengan politik dan perusahaan keluarga seperti perusahaan anda. Dua jenis itu paling susah diajak profesional."

Aku ikut sandarkan badan ke dinding lorong. Bibirku tersenyum geli. Gaya kami lebih mirip gaya anak SMA yang bolos kelas hanya demi menghisap rokok.

"Lalu, apa hubungannya dengan saya?" lanjutku bertanya.

Sesekali Respati melirik arloji. Dia hisap rokoknya agar terburu saat Linda menemuiku. Sekarang sudah jam pulang. Secepat mungkin Respati berbisik saat Prasojo keluar ruangan.

"Perusahaan ini akan dibagi tiga. Saya usahakan anda jadi salah satu CEO-nya."

Mendadak AyahWo Geschichten leben. Entdecke jetzt