Terus Menanjak

20.2K 2K 22
                                    

Tujuh bulan tepat sejak pertemuanku dengan Fitria. Tujuh bulan lamanya kami hidup di Kota Bandung. Si cantik itu makin cerewet. Persis ibuku. Tak ada jarak di antara kami sejak aku menembaknya.

"Sudah kubilang jangan disimpan sendiri," ujarnya sambil memeras handuk basah. "Mas sih, bandel. Setiap ditanya pasti bilangnya, 'gik idi ipi-ipi, kimi tining siji." Dia monyong-monyongkan bibirnya lagi.

Aku tertekan kalau boleh jujur. Putera kami semakin besar. Kebutuhan kami semakin banyak. Sedang pekerjaan tak kunjung juga memberi hasil. Bahkan semakin minus. Ditambah lagi, aku makin tertekan karena hubunganku kucing-kucingan. Keluargaku belum tahu. Aku belum berani mengatakannya.

"Maafkan aku, Fitria."

Perempuan itu tak menunjukkan wajah keberatan.

"Sudah kubilang gak apa-apa kok. Aku tahu Mas butuh waktu." Dia memjawabnya sambil mengaduk bubur daging. "Jangan stress lagi ya? Aku gak keberatan hubungan kita hanya pacaran. Aku gak keberatan memulai semuanya dari nol. Sini buka mulutnya. Makan dulu."

"Aku makan sendiri."

Dia tepis tanganku saat hendak meraih sendok. Wajahnya jadi galak. Aku takut sendiri saat dia mulai melotot. Kubiarkan si cantik itu menyuapkan bubur daging ke mulutku.

"Waktu awal-awal kita bareng, aku sungkan banget sama Mas. Rasanya malu dinafkahi orang lain. Tapi Mas gigih banget memaksaku percaya. Mas selalu bilang aku berhak menerimannya. Sampai memintaku jadi pendamping. Aku jadi halu. Huh!"

Wajahnya agak ketus saat mengucap kalimat terakhir. Aku baru paham kalimat itu dia anggap sebagai lamaran. Pantas saja dia kesal.

"Sekarang giliran Mas percaya padaku. Mas sudah melamar aku. Mas punyaku sekarang. Mas gak boleh nolak kalau aku manjakan. Awas!"

Napasku terhela panjang. Kehidupan ini terasa asing. Ekspresi Fitria sangat natural seakan kami sudah hidup bertahun-tahun. Ternyata wanita itu bukan pendiam. Watak aslinya cerewet. Dia agak pemaksa. Justru aku sangat menyukainya.

"Mas, sampai ayahku meninggal, beliau belum bisa move on dari istri pertamanya. Padahal 20 tahun lebih loh. Dia dulu tinggal di ujung Timur Jawa Timur. Dan katanya aku punya kakak tiri. Dia di Amerika sekarang. Umurnya mungkin awal-awal 30-an."

Fitria ganti selimutku yang dibasahi keringat dingin. Akhir-akhir ini dia sering menceritakan dirinya sendiri. Mungkin paham bahwa aku masih canggung memulai topik.

"Aku takut punya suami seperti ayahku. Orangnya kasar. Harga dirinya tinggi. Dia selalu merasa derajat perempuan ada di bawah laki-laki. Ibuku tidak tahan diperlakukan seperti pembantu. Akhirnya dia kabur. Dan Mas tahu? Ferdian tak jauh beda dari ayahku. Menang ganteng doang."

Aku tak pernah suka saat Fitria menceritakan mantan suaminya. Bahkan sejak awal kami kenalan. Kali ini makin terasa setelah kami resmi pacaran.

Namun, aku memilih diam. Lebih sering pasang telinga karena tak sanggup bicara manis. Fitria mungkin menyadari. Dia sudahi topik itu karena aku tak pernah suka.

"Ya ampun, Mas demamnya gak mau turun." Setelah, membersihkan sisa bubur dengan tisu, dia taruh thermometer di mulutku.

Angkanya masih berkutat di 39.

"Cepat sembuh ya Mas? Mau susu lagi?"

Aku mengangguk sambil melirik susu kaleng di atas meja. Mulutku pahit. Minuman tawar jadi tak enak. Bukannya beranjak, si cantik itu malah melirik dadanya sendiri.

"Susu yang ini mau?"

Thermometernya langsung bertambah tiga derajat.

***

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang