Wajah Baru

5.4K 836 49
                                    

"Boss!"

"Heh, iya?" jawabku agak kaget. Kutoleh si penegur itu yang sedang duduk di sebelahku.

Di ruang tunggu personalia.

Di antara puluhan calon pekerja baru yang harap cemas beradu nasib.

"Ingat pertemuan pertama kita? Persis di tempat ini, Boss. Di kursi tunggu yang sama."

"Pelankan suaramu."

Abidin celingukan. Dia pindai penampilanku yang terlalu santai untuk ukuran pimpinan puncak.

"Boss ngapain di sini?"

"Mengantar adik."

"Boss punya adik?"

"Iya. Adik cewek. Tuh di sebelah pintu." Kulirik seorang gadis yang tengah diam di kejauhan. Kulirik pula penampilan Abidin yang terlalu santai untuk ukuran staff menengah.

Kaos oblong, celana pendek, sepatu sport ... dia jadi mirip seseorang.

"Din."

"Apa boss?"

"Bagaimana hubunganmu dengan Clarissa? Sudah putus?"

"Boss, ada pertanyaan yang lebih manusiawi?"

"Hahahaha, gak ada Din."

Abidin merengut sejenak sebelum mantab acungkan jempol.

"Tiga bulan lagi kami menikah."

"Buset! Gerak cepat!"

"Siapa dulu dong mentornya?"

Abidin merangkul akrab. Walau jabatan kami saat ini berbeda jauh, kami masih dekat. Dan itulah yang kusukai dari seorang Abidin. Makin percaya diri. Dia pun tahu kapan bersikap sebagai teman dan kapan sebagai bawahan.

"Boss, gak terasa ya, kita jadi jarang kumpul sekarang."

"Mau gimana lagi, Din? Kita punya karir masing-masing."

Sejak jadi CEO, team lamaku punya jalan sendiri-sendiri. Saat ini Abidin menjabat sebagai asisten perencanaan di bawah pimpinan Mas Iwan. Spesialisasinya memang di teknik sipil dan arsitektur. Begitupun cita-citanya. Dia jadi lebih banyak kerja lapangan untuk memastikan bahwa proyek konstruksi harus selalu sesuai desain.

Jadi ... karena sering bekerja di luar ruangan ...

"Din, kamu seperti mode gelap untuk menghemat baterai ponsel."

"Boss rasis nih. Gini-gini Clarissa makin cinta."

"Sudah kamu apain saja?"

Abidin memberi senyum menjijikkan. Dia kontan tertawa setelah sejenak mengingat-ingat.

"Mentok cuma ciuman, Boss. Clarissa terlalu cantik untuk dipetik sebelum berbunga."

"Buset! Sejak kapan jadi puitis?!"

"Sejak jadi bawahan Pak Iwan, hahahaha!"

Oh iya, Abidin dan Clarissa saat ini beda divisi. Jika Abidin kerja lapangan, Clarissa lebih banyak di bawah AC. Gadis itu resmi bekerja sebagai staff personalia karena sesuai bidang kerjanya. Lebih mirip resepsionis. Wajahnya pun sangat mendukung. Para calon pekerja pria kontan tersipu saat gadis itu membuka pintu.

"Risma Sulistiawati?" teriaknya ke salah satu calon pekerja.

Clarissa agak terkejut melihatku duduk di kursi pojok bersama Abidin. Dia lambaikan tangannya bersama sebuah senyuman manis. Semua orang melihat kami. Terutama calon pekerja pria yang terpana karena Clarissa. Dia makin cantik. Kontan saja, mereka kernyitkan dahi saat Abidin memberi balasan ciuman jauh.

"Din, jangan ngundang kutukan."

***

Clarissa keluar ruangan lagi untuk memanggil peserta lain. Gadis itu professional. Dia juga ramah. Dan keramahan itu sesejuk embun pagi bagi calon pekerja yang gagal kami terima. Salah satunya seorang gadis yang menghampiriku sambil menangis.

"Oppa ... hiks!"

"Kenapa? Gak apa-apa gagal sekarang. Kan masih ada tahun depan?"

"Pertanyaannya susah-susah, Oppa."

"Bersikaplah optimis. Belajarlah dari Jared."

Wajahnya kontan memerah. Risma memukul lenganku saat nama itu dia dengar. Walau sudah bertunangan, hubungan mereka masih seperti air dan api. Risma duduk di sebelahku setelah seenaknya mengusir orang.

"Terus aku gimana, Oppa? Masa nganggur?"

"Kan bisa ikut Jared ke Jepang?"

"Apaan siii!"

Dia pukul lenganku lagi. Gadis itu buang muka untuk alasan yang sangat jelas. Aku sudah tahu dia pasti gagal. Risma masih kekanakan. Belum kompeten.

"Oh, karena dia Boss ke sini?" Abidin nyeletuk. Dia melihat Risma dengan wajah bertanya-tanya.

"Iya. Cewek ini badannya saja gedhe. Tapi masih cengeng. Dikit-dikit cari aku atau Fitria."

"Kenapa gak langsung diterima? Boss kan punya kuasa?"

Aku tak perlu menjawab pertanyaan yang sudah jelas. Abidin sangat tahu seketat apa kriteriaku. Risma memang seperti saudara kandung. Tapi di kantor ini, dia punya perlakuan sama seperti pekerja baru lainnya. Tak ada orang dalam. Aku mau kantor ini hanya diisi orang kompeten darimanapun latar belakangnya.

"Memangnya Risma gak apa-apa?" Abidin masih penasaran. Dia pun masih memandang Risma seolah merasa bertemu di mana.

"Tenang saja, Risma. Oppa-mu bukan Pak Handoko saja. Anggap saja aku Oppa-mu," katanya lagi sok akrab.

"Oppa kok item?"

"Jangan gitu, Boss. Orang Korea juga ada yang item." Abidin masih bersikukuh melihat Risma dengan wajah mengingat-ingat. "Oh, kamu yang di ultah ketiganya Izra?"

"Iya, Abidin-Oppa. Aku juga lihat Oppa sama Clarissa-Unni." Risma mengingatnya. Dia tarik lengan bajuku dengan gelagat hendak menagih. "Oppa sama Unni Fitria sudah janji! Katanya mau ngasih sesuatu kalau aku gagal?"

"Maksudnya ini?" Kuserahkan sebuah benda yang tak mungkin dia tolak. "Tiket pulang pergi ke Korea. Dan ini akses VIP di manajemen BTS. Kamu mau bertemu mereka, bukan?"

"Serius?! Daebak!"

"Iya dong? Dan ini formulir kuliah ke kampusnya Teh Fitria. Belajar yang rajin. Kalau tahun depan kamu diterima, Oppa-mu ini kasih tiket lagi ke Korea. Mau?"

Air mata Risma keluar lagi untuk alasan lain.

"Sana temui Tetehmu. Oppa masih ada perlu."

Satu persatu orang keluar masuk ruang HRD. Ada yang sujud syukur karena diterima, ada pula yang keluar pintu dengan wajah layu. Kriteria kami sangat ketat. Dan kriteria itu kami ujikan dengan pertanyaan yang sangat menjebak. Tak ada kompromi. Tak ada tawar menawar. Proses penyaringan pun berjalan lancar, sampai tiba giliran perempuan lain yang juga kukenal. Berbeda dengan Risma, perempuan ini 100% lulus. Dia pun menghampiriku seusainya menutup pintu.

"Bagaimana, Mbak Yu?" sapaku padanya.

"Standard-nya tinggi, Dik. Untuk saja Mbak Yu lulus," ucapnya lembut, seperti seorang Puteri Solo. Cara duduknya pun sangat anggun dan tak lupa memberi senyum. "Mbak Yu bawahanmu sekarang, Pak Handoko. Setelah ini ada penyaringan lagi, kan?"

"Iya, Mbak. Di ruang pengembangan."

"Di kantor Pak Iwan?"

"Iya, kalian sudah ngobrol via email, bukan?"

Perempuan itu menjawabnya dengan sebuah anggukan pelan.

Iya. Dia adalah sepupuku yang Pak Dhe titip tiga bulan lalu. Pendidikannya cukup tinggi, dia juga punya profisiensi yang sangat kubutuhkan di kantor ini. Wajahnya kalem. Agak mirip ibuku. Bukan hanya kecantikannya, sikapnya pun mencuri mata para pria termasuk mata seorang Abidin.

Perasaanku langsung tak enak saat si item acungkan jempol.

"Boss, cantik sekali boss. Calon istri ketiga?"

"Endhasmu!"

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now