Restu Orang Tua

18.7K 2K 56
                                    

Hari ini, aku jadi tamu di rumah sendiri. Rasanya aneh. Tatanan sofanya masih sama, suhu ruangannya, begitupun berbagai hiasan bertema perang. Tapi ruang tamu itu terasa asing karena aku datang demi sebuah tujuan. Aku merasa asing karena aku akan melepas statusku sebagai anak dalam tanggungan.

Aku punya hidupku sendiri.

Ayah dan Ibu harus tahu itu.

Fitria duduk merapat di sampingku. Wajahnya tenang. Jauh berbeda dibanding pertama aku mengenalkannya ke Mas Iwan enam bulan lalu. Dia perempuan anggun sekarang. Ketenangan itu juga berlawanan dengan diriku, yang masih menunduk dengan keringat sebesar jagung.

Ayah dan Ibuku masih terdiam dengan entah apa benak mereka. Ruang tamu itu jadi penuh tekanan. Fitria sampai merengkuh jemariku untuk memberi dukungan moral. Aku tak berani menatap ayah yang masih berseragam dinas. Beliau terburu pulang dari Kodim hanya demi serangan jantung.

Aku tak sanggup bersuara. Kubelai Izra di pangkuan yang antusias dengan pernak-pernik ala militer.

"Awawa!" katanya saat menunjuk-nunjuk seragam ayahku. Izra bergeliat di pangkuanku saat melihat pistol, poster kesatuan, serta selongsong meriam 88mm yang kami jadikan tatakan pintu. Bayi itu memecah beku. Hanya dia yang bersuara di antara urusan orang dewasa.

"Umur berapa?" Ayah mulai bicara. Mungkin tingkah Izra telah menarik perhatiannya.

"Minggu depan 14 bulan."

Alis ayah naik sebelah. Beliau melirik Ibu yang bergelagat sedang menghitung.

"Dua tahun lalu Handy di Sidoarjo, Pak." Ibuku agak panik. Beliau melihat Fitria dan bertanya dengan wajah cemas. "Nduk asalnya dari mana?"

"Sidoarjo, Bu."

"Lah, tenan toh Pak, Tole menghamili anak orang. Piye iki?"

Ayahku terpancing emosi. Beliau melotot ke arahku seolah-olah mau memukul. Ibu menenangkannya dengan mata melirik Izra.

"Ada bayi, Pak. Sabar dulu, ya? Sabar."

Ayah tidak bersuara. Matanya memindai Izra seakan memastikan bahwa dia memang cucunya.

"Wajahnya mirip, Buk."

"Iya, Pak. Mirip tole waktu kecil."

Seharusnya aku meluruskan pikiran mereka yang berkelana kemana-mana. Tapi aku tak punya keberanian, terhalang wajah ayah yang seperti granat tanpa pin. Siap meledak. Fitria bahkan merangkulku erat dan berkali-kali memberi senyum.

"Handy, aku butuh penjelasan." Ayahku mengintimidasi. "Dia anakmu?"

"Iya. Izra puteraku," jawabku setegas mungkin. Aku jadi berani karena ayah menyinggung si kecil.

Andai tak ada Izra, ayah sudah membanting meja. Napasnya kembang kempis menatapku yang terkesan menantangnya. Aku siap beliau pukuli. Aku menjaga kontak mata demi menunjukan bahwa aku tak main-main. Suasana semakin tegang. Tapi Izra malah tertawa dan merantangkan tangannya ke seseorang yang masih berseragam.

Ayahku gelisah. Beliau mau marah, tapi Izra menghalanginya. Kumanfaatkan sihir puteraku untuk melawan amarah ayah. Beliau semakin gelisah saat si kecil kuturunkan dari pangkuan. Seperti yang kuduga, Izra menghampiri ayah karena tergoda seragam loreng.

Tangan ayah gemetaran. Beliau langsung melunak saat si kecil menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Awawa."

"Ini lencana kolonel. Tole mau jadi tentara?" kata ayah pada si tuyul pecuri hati. Beliau menatapku gengsi dengan keringat mulai menetes. "Bol—boleh aku gendong dia?"

***

Fitria menceritakan kisah kami beberapa detik setelah ayahku keliling rumah. Ibuku terkejut. Aku sudah menduganya. Ayah juga gelagapan saat Ibu bercerita ulang. Suasana kembali hening. Tapi Ayah masih menggedong puteraku seakan cerita itu tak mengubah pandangannya.

"Oh, begitu toh Nduk? Ibu kira anak ibu ini asal nanam pisang."

"Bu!" kutegur beliau yang ceplas-ceplos. "Aku masih perjaka! Ting ting!"

"Beneran, Nduk?"

"Ibu kok malah tanya Fitria? Aku gak apa-apain dia, sumpah."

"Habisnya Izra mirip sama kamu. Ya jangan salahkan Ibu kalau mikir macam-macam, iya kan Pak?"

"Iya, Bu. Mirip Handy." Ayah menjawab singkat. Beliau masih sibuk menunjukkan gambar tank, meriam, pesawat, dan berbagai alutsista yang aku hafal namanya. "Tapi minatnya seperti Pram, Bu. Calon perwira ini!" Ayahku makin antusias.

Ibuku menggeleng heran melihat ayah. Beliau menoleh Fitria dengan ekspresi yang sangat ramah. "Tapi serius, Nduk, mau sama anak Ibu?"

"Iya, Bu. Aku siap lahir batin jadi istri Mas Handoko."

Ibu berganti menolehku. "Kalau kamu, Le?"

Tanganku langsung meraih pinggang ramping Fitria. Kucium keningnya setelah menarik napas panjang.

"Bu, aku bisa bayangkan masa depanku sendiri setelah mengenal Fitria. Aku tahu tahun depan harus jadi apa, sepuluh tahun lagi harus bagaimana, semua karena perempuan ini, Bu. Dia yang melihat punggungku setiap hari. Restui kami, Bu."

Fitria mulai sesegukan. Dia merangkulku pelan saat wajahnya mulai menunduk. "Tapi maafkan aku, Bu. Maafkan aku Mas Handoko bukan yang pertama ..."

"Karena si Nduk ini janda?" Ibuku menarik napas panjang. Beliau seperti tak rela dengan fakta yang Fitria ceritakan. "Ibu dan Bapak tugasnya hanya mendidik anak, Nduk. Masa depan mereka ya punya mereka sendiri. Lagipula ..."

Aku mulai cemas saat beliau menatap kami bergantian. Ibu mengernyitkan dahi dan gelagat sedang berpikir.

"Lagipula wajah kalian mirip. Ibu kok baru sadar, ya?"

"Hah? Serius, Bu?" Aku terkejut. Kontan saja kutoleh Fitria yang juga bingung dengan ucapannya.

"Mata ibu ini belum rabun. Mata kalian mirip. Wah, jodoh ini. Cepet kalian nikah."

"Ibu gak bercanda?"

Ibu justru menoleh ayah dan meminta persetujuannya.

"Gimana, Pak?"

"Memangnya nunggu apalagi? Cara Fitria menatap Handy seperti cara ibuk menatapku dulu. Itu cinta itu."

"Bapak ini ditanya malah merayu."

Ucapan itu seperti air di musim kemarau. Aku tak percaya semudah itu orang tuaku memberi restu. Fitria juga terhenyak. Dia menghampiri ibuku dengan air mata dan suara terbata-bata.

"Makasih, Bu. Ak-aku kira aku akan ditolak. Aku kira gak bisa lagi sama Mas Handoko." Fitria membenamkan wajah di pangkuan ibuku. Segala ketakutan yang dia pendam seperti air bah di musim hujan. Rasa takut itu nyata. Ibuku bahkan membelai rambutnya, seakan ikut menanggung beban yang selama ini Fitria pendam.

"Nduk, status janda itu bukan aib. Ibu ini istrinya tentara. Ibu bisa jadi janda kapan saja kalau bapakmu pergi bertugas. Sudah, jangan nangis lagi ya? Ibu sama Bapak merestui kalian."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now