PS - Berlumur Darah

8.6K 1K 3
                                    

Dear pembaca, beberapa chapter ke depan akan sedikit memusingkan.

Dan sedikit 'gore' karena tokoh utamanya agak psikopat

PS adalah Pram's Story

Silimit Mimbici

***

Desa Gumah, 220km sebelah timur Pelabuhan Bossaso, Somalia.

Cairan kental mengalir hangat di tanganku. Cairan pekat berwarna merah. Pisau taktis itu agak bergetar saat tusukanku semakin dalam. Terlebih saat aku memutarnya. Seperti memutar nurani dan rasa kemanusiaan. Matanya pun mulai meredup, melemas, hingga senapan yang dia pegang jatuh bebas ke tanah kering.

Tanah kering Somalia.

Tanah kering di mana untuk pertama kalinya kuhabisi nyawa orang lain.

"Ghost 3, do you copy?"

Aku terhenyak. Panggilan komandan menyadarkanku dari lamunan. Operasi gabungan tiga negara itu jadi debutku menginjakkan kaki di medan tempur. Aku tak mau mempermalukan Indonesia di hadapan mereka semua.

"Solid copy. Ghost 3, area six, clear!" Kulaporkan hasil kerjaku dengan suara agak bergetar.

"Keep going, Boy. Show me your worth, Over!"

Kulirik mayat perompak Somalia yang baru saja kugorok lehernya. Matanya masih melotot. Kubersihkan lumuran darah dari pisauku di baju kumal pria itu. Aku tak bisa melupakannya.

Tapi misi tetaplah misi.

Kukokang lagi SCAR-H di tanganku sambil melirik tiga prajurit Malaysia yang saat ini sedang kupimpin.

"Move up!"

***

Sembilan tahun kemudian, di kehidupan damai tanpa peluru dan bau mesiu.

"Kenapa Mas?" Handoko, Adik kandungku, menegur kalem saat aku sedang melamun. Tak sedikitpun wajah cemas dia tunjukan walau sudah menginjak ranjau.

Maksudku ranjau rumah tangga. Bukan ranjau betulan. Adikku sudah menikah dan bahagia bersama anak dan istrinya. Tapi di malam ini, dengan lugunya dia bawa perempuan lain, seorang perempuan yang terlalu cantik bahkan untuk standarku.

"Aku tak bisa membantu. Mulai besok aku harus kembali ke Cijantung," jawabku sama kalemnya.

Wajah cantik Linda sempat merenggut fokusku hingga aku lupa di hadapanku ada siapa. Sebagai kakak kandungnya, aku hafal watak Handoko. Dia mudah kepikiran andai kuberi kesan bahwa akan ada masalah.

Masalah lain tentangku yang tak boleh dia tahu.

"Jadi, ini malam terakhir Mas Pram di Bandung?"

"Memangnya buat apa aku beli ini semua?" Kutunjuk beberapa botol bir yang harus kami habiskan berdua saja. "Setelah di markas, aku akan ke Lumajang," lanjutku mulai berbohong.

"Jauh banget, ngapain?"

"Iwan butuh bantuanku."

Si badan besar itu terdiam. Aku berhasil mengalihkan perhatiannya kepada Iwan, sahabat karibku yang dia anggap sebagai Kakak. Handoko pasti sadar bahwa kemampuan sosialnya terlalu buruk. Dia tipikal orang yang malas menghubungi orang lain kalau tak punya kepentingan apapun. Jangankan Iwan, aku saja tak pernah dia hubungi kalau tak ada masalah genting.

Terserahlah, aku tak ingin dia tahu ada sesuatu yang seminggu ini kusimpan sendiri. Bukan hanya Handoko, ayah ibupun tak boleh tahu bahwa setelah ini kami mungkin tak bertemu lagi.

"Mas Pram ada masalah apa sih?"

"Gak ada. Tenang saja."

Mungkin ini bir terakhir yang kuminum bersama adikku. Ini malam terakhir karena neraka itu telah menungguku. Setelah sembilan tahun lamanya, setelah menenangkan diriku sendiri, aku mendapat misi untuk kembali ke Somalia.

Bir terakhir?

Heh?

Entah seperti apa reaksi Handoko andai dia tahu tiga hari lagi aku menjalani misi mustahil.

Tak biasanya aku gugup. Tapi negara itu telah memberi kesan buruk. Bukan hanya untuk pertama kuhilangkan nyawa orang lain, di negara itu pula seorang sahabatku telah gugur.

Aku tak bisa melupakannya.

Kejadian itu selalu datang di setiap mimpi buruk.

Aku terlalu memikirkannya hingga Handoko segan untuk memberi sebuah teguran.

"Selesaikan urusanmu di Bandung. Kalau punya waktu luang, jenguk abangmu itu di Lumajang."

"Iya, Mas."

Oh, sungguh dunia terbalik. Aku betah di rumah ini. Adikku sukses, punya ipar baik, juga keponakan kecil yang selalu jadi teman bermain. Sebagai prajurit yang selalu terjun di medan perang, keluarga Handoko seperti penawar racun untuk jiwaku yang berlumur darah.

***

Tiga hari kemudian, di desa pesisir Somalia, sekali lagi tangan ini berwarna merah.

Seorang pria kulit hitam tergeletak tak bernyawa di antara semak tepian pantai. Kuseret perlahan mayatnya agar perompak lain tidak curiga. Suasana malam masih senyap. AK-47 yang dia bawa langsung kami gunakan karena di negara ini kami datang tanpa senjata.

Jangankan senapan serbu, pisauku pun hasil rampasan karena identitas kami hanyalah turis.

Termasuk pisau buah yang baru kugunakan menggorok leher.

Kugerakkan tangan kiri ke pergelangan tangan kanan. Kode taktis bahwa ada musuh dalam awasan. Kuberi kode pula pada anggotaku untuk siaga di tempatnya, saat sekali lagi kudekati seorang perompak.

Langkah kakiku tak boleh terdengar. Kubekap mulutnya dari belakang, dan mengiris lehernya sampai dia meregang nyawa.

"Sampai jumpa di neraka," bisikku pada mayat itu.

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang