Buah Keberanian

21.9K 2.2K 45
                                    

"Mas Handoko, kemarin ada masalah kecil di kantor pusat. Sebenarnya sepele. Tapi jadi besar karena direktur lain ikut campur."

Logikaku langsung bekerja. Masalah itu pasti si Doni. Aku yakin si Tomat itu lapor pamannya, sosok direktur lain yang Pak Asep sebut. Si Nyoto atau siapalah. Ternyata dialah yang memberi surat bahwa Handoko telah dipecat.

Namun, aku masih heran. Hampir mustahil seorang petinggi seperti Pak Asep turun gunung hanya demi pekerja kontrak. Bayaranku saja harian. Bukan bulanan seperti lataknya karyawan resmi. Tak ada BJPS, jenjang karir, apalagi perlindungan tenaga kerja dan segala tetek bengeknya.

Kenapa Pak Asep membelaku?

"Mas Handoko, seberapa penting pekerjaan ini untuk anda?"

Aku tak langsung menjawab. Naluriku berkata, Pak Asep sedang mengujiku.

"Pak Asep, seberapa penting nilai saya sampai direktur sekaliber anda mau turun di tempat ini?" Kubalas pertanyaan itu dengan pertanyaan.

Pak Asep nampak tercengang. Apalagi para pekerja di belakangku. Pertanyaan itu kurang ajar. Tak menghormati seorang direktur. Pria itu malah tertawa setelah aku menanyakannya.

"Anda istimewa, Mas Handoko. Anda punya jiwa kepemimpinan, kharisma, dan berani membela hak. Saya sampai bertengkar dengan direktur lain agar anda tetap di sini. Sepenting itulah peran anda di mata saya."

Aku malu saat beliau memujiku. Pria itu rendah hati. Tidak suka menyalah-gunakan wewenang. Aku makin menghormatinya.

"Saya tak sejauh itu, Pak."

"Itu bukan pujian," balasnya agak dingin.

Dahiku terkernyit. Pria itu juga tegas. Naluriku makin berkata bahwa Pak Asep memang mengujiku. Entah apa maunya. Dia bahkan menyodorkan ponselnya setelah memencet sebuah nomor.

"Saya ingin tahu sejauh mana keberanian anda."

Tidak salah lagi.

Orang ini sedang menguji.

***

"Kemasi barangmu dan segera angkat kaki dari perusahaan ini!"

Di sebuah panggilan telpon, seseorang masih juga membentakku. Si keparat itu adalah Nyoto. Aku kesal dengan gayanya yang arogan. Terserahlah siapa dia. Aku tak terima dibentak orang begitu saja.

"Memangnya anda punya hak memecat saya?"

"Kamu berani membantah?" balasnya dengan nada tinggi. "Saya ini direktur!"

"Iya, saya tahu anda direktur marketing. Tapi direktur produksi itu Pak Asep, bukan? Dan beliau yang berhak memecat saya."

"Saya juga berhak!"

"Maaf, saya anak buah Pak Asep dan hanya tunduk aturan beliau. Lebih baik anda urus divisi anda sendiri. Jangan ikut campur urusan orang." Langsung kututup telpon itu dan mengembalikannya ke Pak Asep.

Semua orang gempar. Kulirik Mang Cecep dan beberapa pekerja yang melihatku dengan mata terbelalak. Memangnya aku salah apa? Bukan hanya mereka, aku juga melirik si Doni yang baru datang. Tak ada kata dari mulutnya. Apalagi saat Pak Asep bertepuk tangan sambil tertawa.

"Saya suka gaya anda, Mas Handoko," katanya, bersama sisa tawa yang beliau tahan. "Nyali anda lebih besar dari badan anda."

"Saya tidak salah kan, Pak?"

Pak Asep menggelengkan kepala bersama seraut senyum. "Saya yang salah, Mas Handoko. Selama ini saya terlalu sibuk dengan bidang lain dan melupakan tanggung jawab di workshop ini," lanjutnya, memberi kode tangan agar yang lain meninggalkan ruangan.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now