Dunia Eksekutif

8K 1.2K 66
                                    

Hari ini aku berpenampilan selayaknya eksekutif. Lengan panjang putih, rompi, dasi, serta jas hitam yang Fitria pilihkan. Tak lupa pula arloji klasik dan pulpen terselip. Penampilan itu jelas mencuri mata begitu keluar dari mobil. Sore ini aku kembali ke Sky Lounge. Ada temu janji dengan seseorang yang akan Pak Asep kenalkan. Entah siapalah dia. Aku merasa orang ini bukan orang sembarangan, dari permintaan Pak Asep agar aku memakai dress code.

"Selamat siang, Pak Handoko. Anda sudah ditunggu."

Seorang resepsionis menghampiriku. Dia tunjukan sebuah meja di mana ada dua pria paruh baya. Salah satunya Pak Asep. Dua orang itupun mengenakan pakaian formal seperti penampilanku hari ini. Suasananya jauh berbeda. Kubenahi pangkal dasiku, saat Pak Asep melambaikan satu tangannya

"Saya terlambat?"

"Anda tiba lima menit lebih awal."

"Dan anda tiba sepuluh menit lebih awal, Pak Asep."

Direktur Produksi itu tertawa. Kuamati pria di sampingnya yang ikut berdiri menyodorkan tangan.

"Nama saya Hardianto Rahman. Panggil saja Hardi. Pak Asep sudah banyak cerita tentang anda."

Kulirik caranya berjabat tangan. Posisinya sejajar. Tidak terlalu agresif, juga pula defensif. Aku langsung membaca bahwa orang ini sudah asam garam di dunia bisnis.

"Saya Handoko Dwi Dharma," balasku padanya. "Saya yakin Pak Asep menabur bumbu tentang saya."

"Untuk itulah kita bertemu di sini, Pak Handoko, hahahaha! Silahkan duduk."

Aku langsung duduk setelah Pak Hardi mempersilahkan. Mataku masih mengamati cara duduknya yang sangat elegan. Aku yakin pria itu juga sedang membacaku. Aku harus jaga sikap. Dan melihat cara Pak Asep menghormatinya, kenalan baruku ini jelas-jelas orang yang penting.

"Sosok anda sesuai deskripsi Pak Asep. Masih muda, tapi kharismanya puluhan tahun lebih dewasa."

"Anda terlalu berlebihan, Pak Hardi. Saya adalah produk Pak Asep. Beliau mentor saya."

Kali ini Pak Asep yang terbahak-bahak. Beliau ikut bicara setelah termakan sebuah pujian. Pria itu menepuk pundakku saat bicara dengan rekannya.

"Usia 20 sampai 30 tahun itu masa emas seseorang, Pak Hardi. Mereka masih punya passion untuk maju. Tidak seperti kita. Sudah tumpul, hahahahaha!"

"Betul, Pak Asep. Banyak telur elang di sekitar kita. Tapi potensi mereka tergerus masalah pribadi. Apalagi setelah menikah. Dunia mereka seringkali direnggut pasangan sendiri." Pak Hardi berganti menolehku. "Sudah menikah?"

"Iya Pak. Dan beruntung sekali istri saya mendukung apapun yang saya kerjakan. Ambisinya tinggi. Malah dia yang sering mendorong saya kalau ada keputusan besar."

"Istri beliau ini direktur keuangan PT. Teruna Cipta Furniture." Pak Asep menambahkan. "Itu loh, yang negosiasi kemarin."

Mata Pak Hardi langsung melebar. "Wah, sayang sekali. Padahal puteri saya masih jomlo nih."

"Iya Pak, puteri saya juga jomlo."

Spontan aku berdehem. Segera kusudahi topik itu sebelum kepalaku makin membesar.

"Kalau boleh tahu, apa yang kita bahas di sini, Pak Hardi?"

Pria seumuran Pak Asep itu langsung mengubah ekspresinya. Gayanya masih kalem, tapi auranya terasa serius. Pria itu mulai bicara setelah membenahi pangkal dasinya

"Pak Handoko, jika besok anda menjabat sebagai CEO PT. Griya Cipta Laksana, kira-kira masalah apa yang anda fokuskan pertama kali?"

Aku menahan kernyitan dahi. Orang ini langsung memberiku pertanyaan sulit. Tidak ada basa basi, tidak pula perkenalan lanjut. Pertanyaan itu jelas mengujiku untuk memberi jawaban jujur.

"SDM."

"Lebih jelasnya?"

"Sistem manajemen perusahaan sudah canggih. Visi besar, misi jelas, dan strateginya juga efisien. Tapi distribusi kebijakan terhambat karena kualitas SDM kurang support. Ibarat komputer, software-nya terkini, tapi hardware-nya kuno. Perusahaan tak akan maju kalau kualitas SDM-nya seperti sekarang."

Pria itu dan Pak Asep saling bertatapan. Jawaban itu adalah hasil praktik, pengamatan, juga buku-buku yang harganya menguras kantongku. Aku tak tahu apa jawaban itu benar atau salah. Dan aku tak peduli. Aku hanya menyampaikankan isi kepala karena beliau menanyakannya.

"Jadi, menurut anda masalah utama kami ada di calon SDM?"

"Iya. Ini Indonesia, Pak Hardi. Sistem pendidikan kita belum mendukung dunia industri. Calon SDM terbiasa dididik mencari nilai, gelar, sertifikasi dan pujian kosong waktu sekolah. Dan kebiasaan itu mereka teruskan ketika sudah bekerja."

"Selain itu?" Pria itu masih penasaran.

Kubenahi posisi dudukku dan memberinya tatapan tajam.

"Nepotisme. Selama calon SDM masih mengandalkan orang dalam, PT. Griya Cipta Laksana tak akan pernah kemana-mana."

Meja langsung hening. Keduanya bertatapan lagi. Sepertinya jawaban itu adalah penjelasan yang mereka mau. Pak Hardi menghela napasnya. Beliau memberi pertanyaan kedua, yang mirip sekuel dari pertanyaan pertamanya.

"Jika anda jadi CEO esok, anda sanggup benahi itu?"

"Mustahil," jawabku cepat. "Kemampuan saya sekarang belum qualified. Tapi kalau dua tahun lagi saya percaya diri."

"Bukannya anda mantan CEO? Saya dengar dari Pak Asep."

"Perusahaan lama saya tidak bisa dibandingkan dengan perusahaan sebesar PT. Griya Cipta Laksana, Pak Hardi. Model bisnis berbeda, skalanya juga berbeda. Apalagi persaingan di industri property. Lawan bisnis kita adalah korporasi raksasa seperti Ageng Sedoyo Group dan Cipitra. Saya belum kompeten mengurus masalah internal disaat kompetisi semakin ketat."

Pak Asep kontan tertawa. Sedangkan Pak Hardi dengan perlahan menggelengkan kepalanya.

"Pak Asep, pemuda ini lebih potensial dari deskripsi anda."

"Sudah saya bilang, kan? Pak Prasojo yang kaku saja langsung tertarik."

Pak Hardi kembali menatapku. Beliau sodorkan tangannya untuk kujabat, meski beberapa menit lalu kami sudah berkenalan.

"Pak Handoko, mungkin anda sudah menebaknya. Saya adalah pendiri, salah satu chairman, sekaligus CEO PT. Griya Cipta Laksana. Senang berkenalan dengan anda."

***

Kami masih membahas topik-topik ringan saat menuju pintu keluar. Sesekali kami disapa orang yang kebetulan lingkaran Pak Hardi. Untung saja aku siapkan kartu nama. Daftar namaku pun makin bertambah karena Pak Hardi selalu mengenalkanku pada koleganya di hotel itu. Anggota dewan, eksekutif perusahaan, lawyer, tinggal sebut. Inilah prestise tersendiri bisa dekat dengan orang besar.

"Pak Handoko, saya akan kosongkan beberapa schedule untuk anda. Tenang saja, saya tidak sesibuk Pak Prasojo."

"Terima kasih Pak, agenda saya juga akan selalu kosong untuk anda."

Kujabat tangan pria itu saat sopirnya membukakan pintu. Sebuah sedan mewah. Mungkin beberapa orang saja yang sanggup membelinya. Pak Asep pun pamitan padaku saat sopir pribadinya juga datang menjemput. Aku berkacak pinggang. Senyumku melebar, kutarik napas puas untuk sebuah hari yang sangat produktif.

Puas sekali. Bisa kubayangkan semulus apa langkahku ke depan. Mungkin semulus paha Fitria. Atau pantat Izra setelah popoknya kubersihkan. Aku jadi ingat anak istri. Aku juga ingat bahwa hari ini kami harus mengurus perpindahan rumah.

Sekaligus merasakan dua tahun tepat pertemuanku dengan wanita paling istimewa selain ibuku.

Namun, saat balik badan, aku terhenyak karena kulihat seseorang, yang ternyata mengamatiku sedari tadi.

Mataku terbelalak.

Begitupun Indah Hartini yang juga kaget saat kami bertemu tatap.

"Sudah berapa lama di sini?"

"Se—sejak Mas Handoko ngobrol sama Pak Direktur. Seb—sebenarnya Mas Handoko ini siapa?"

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang