Bibit Bebet Bobot

852 110 2
                                    

Pria berkacamata itu nampak celingukan mencari meja. Kulitnya putih bersih, matanya agak sipit, rambutnyapun tertata rapi seperti seorang anggota boyband. Ganteng juga, kami hampir tak mengenalnya. Pemuda itu berubah total. Dia jadi menawan setelah setahun tinggal di Jepang.

Meski sayangnya, sifat alaminya tidak berubah saat kami bertemu pandang.

"Hando-san! Fitoria-chan!"

Gadis K-popper mau menangis, setelah ketahuan sedang pacaran dengan wibu bau bawang.

"Ohh, seingatku dua orang ini musuhan ya, Sayang?"

"Iya. Kalau mereka bertemu bawaannya ribut." Aku ikut menyindir. Kulirik pasangan itu yang sedang duduk agak menjauh. "Sejak kapan jadian?"

Risma tidak menjawab. Dia tutup wajah dengan kedua tangan saking malunya. Gadis itu pasti ingat bahwa selama ini dia seperti air dan api. Akan tetapi, Jared malah senyum-senyum. Dia tak canggung sedikitpun saat menjawab pertanyaanku.

"Hando-san, sejak aku ke Jepang, Risma sakit-sakitan."

"Jangan bilang-bilang!"

"Kan memang kenyataan?"

"Tapi bukan berarti aku kangen kamu!"

"Terus, ngapain kamu nanyain aku cewek di sana cakep-cakep atau enggak."

"Aku kan cuma nanya! Bukan berarti aku cemburu!" Risma kontan buang muka.

Astaga, pasangan ini aneh sekali.

"Aku nanya kalian jadian sejak kapan, kok gak dijawab?"

"Sejak enam bulan lalu, Hando-san. Risma marah-marah waktu lihat fotoku sama mangaka cewek."

"Sudah dibilang aku gak cemburu!" Risma nyolot. Jared tak menggubrisnya dan bercerita lebih banyak lagi.

"Ya aku bilang memangnya kamu siapa? Pacaran juga enggak. Eh, dia malah nangis. Aku jadi gak enak sama Bu Eulis. Ya sudah, aku bilang dia boleh marah kalau kami punya hubungan. Eh dianya mau waktu aku minta pacaran. Padahal cuma bercanda."

"Aku juga bercanda kemarin! Mana mau aku sama wibu?"

"Kamu pikir aku mau sama cewek tukang khayal?"

"Berarti kamu gak serius sama aku!"

"Aku serius, aku sayang kamu."

Wajah Risma jadi lucu. Dia bingung sendiri antara gengi atau tersipu. Padahal sudah pacaran. Padahal sudah dandan cantik demi si Jared. Tapi dia masih malu untuk mengakui bahwa cintanya telah bersemi.

"Ngomong-ngomong, sejak kapan Hando-san jadi tentara?"

"Lagi cosplay," jawabku singkat. Aku tak tertarik membahasnya. Sebagai kakak bagi mereka, ada topik lain yang perlu jawaban setegas mungkin. "Kamu sudah dewasa, Jared. Kapan mau lamar dia?"

"Lamar?! Aku gak mau!" Risma melengking kecil seperti orang sedang tercekik. Aku tahu pertanyaan itu terlalu cepat untuk gadis muda yang masih mau bersenang-senang. Tapi Jared berlawanan. Dia tersenyum bangga sambil mengambil sesuatu dari saku celananya.

Moment ini sangat tidak asing. Aku tahu ada waktunya seorang wibu jadi dewasa. Bukan anak-anak lagi. Mata Risma pun berkaca-kaca saat pacarnya jadi gentleman. Tapi bukannya cincin yang Jared tunjukan, melainkan action figure kecil yang tidak asing di mataku.

Tidak salah lagi.

Itu pahlawan tahi kuda dari komik kami berdua.

"Lihat Hando-san, karya kita dulu laris manis di Jepang. Keren kan?"

"Keren! Ada lagi? Aku minta satu!" Aku langsung antusias.

Terlalu antusias sampai lupa pada gadis yang baru saja kena PHP.

"Kamu memang gak serius sama aku!"

***

Hari ini, hanya ada aku dan kakakku. Mas Pram baru pulang setelah mengantar calon istrinya ke Ibu Kota. Tentunya pakai mobilku. Di mobil itupun kami ngobrol berdua setelah mengantar Fitria ke kantor pusat.

Sebagai pimpinan tertinggi, aku berhak libur sejenak.

"Sekarang giliranku, Le."

"Iya, aku tahu. Soal ibu kan?"

Mas Pram tak menolehku. Apalagi menjawab. Dia tatap kosong luar jendela bersama entah apa benaknya.

Hutang apapun harus dibayar. Terutama hutang janji dan balas Budi. Karena Mas Pram, aku dan Fitria bisa menikah. Dialah yang membujuk ibuku agar Fitria mendapat restu. Butuh waktu lama. Ibuku keras kepala. Kami dapat lampu hijau semua karena kerja kerasnya.

Oh iya, keluarga ibuku berdarah biru.

Masih bau-bau ningrat.

Apa yang Mas Pram cemaskan?

Minggu depan aku harus ke Surabaya demi tujuan yang sangat jelas. Ada reuni keluarga besar dimana kakakku memilih kabur. Kami harus berkumpul setahun sekali. Mas Pram menitip absen karena tak mau sampai bertengkar dengan ibuku.

"Hufff, aku gak enak sama Sandra."

"Ibu pasti memberi restu, kok. Fitria saja jadi menantu kesayangannya."

Motivasi itu tak langsung direspon. Mas Pram alihkan topik demi menghibur diri sendiri. "Le, keluarga besar tahunya kamu nikah lama. Mereka pasti ribut kalau tahun ini kamu tak datang lagi."

"Kok sampai ribut gitu? Perasaan aku gak pernah dianggap kalaupun kumpul."

"Karena mereka tahunya kamu menghamili anak orang. Izra lahir, dan puff. Kalian nikah diam-diam."

"Siapa yang ngarang cerita?"

Mas Pram tidak menjawab. Dia lirik wajahku sekilas saat minum bir kemasan kaleng. Siapapun tahu bahwa rumor itu jelas bersumber dari mulutnya.

"Kamu tahu sendiri kan, Le? Keluarga ibu seperti apa? Dikit-dikit bibit bebet dan bobot. Bisa heboh kalau mereka tahu Fitria itu janda. Makanya Mas ngarang cerita."

"Ya, aku tahu. Dan kenapa pula Mas tidak ikut? Merepotkan saja."

"Karena bibit bebet dan bobot. Sandra juga tak enak hati. Setiap kali Mas kesana, pasti dikenalin sama anak-anak cewek dari rekanan keluarga kita. Nanti ibu bisa terpengaruh. Mas bisa gagal nikah sama Sandra."

Hatiku mendadak ngilu karena ucapan buaya itu. Sebagai anak tak berprestasi, keluarga besar tak menganggapku. Mereka memuja Mas Pram yang katanya genetik unggul.

"Kok aku gak pernah dikenalin ke cewek-cewek tiap reuni?"

"Karena bibit bebet dan bobot. Sudahlah, gantian. Tahun kemarin Mas juga yang wakili kamu."

Aku tak sanggup menjawab. Empat tahun ini aku tak ada karena jatuh bangunku bersama Fitria. Reuni itu seperti sidang. Orang bodohpun tahu bahwa acara keluarga tak jauh beda dari ajang pamer. Ada yang pamer jabatan, pamer harta, pamer sekolah anaknya, bahkan pamer kendaraan yang mereka beli pakai angsuran.

Sebenarnya aku malas. Tapi jika kami tak datang, aku tak tahu apa ibu masih bisa berdongeng tentang cucu dan menantunya.

"Sudah minta cuti kan Le?"

"Iya. Aku pasti datang bareng Fitria dan Dedek. CEO mah bebas mau bolos. Sekarang saja aku bolos."

"Kok enak banget Le?"

"Karena bibit bebet dan bobot, hahahaha!"

Mendadak AyahDove le storie prendono vita. Scoprilo ora