Jus Jeruk

7.1K 1K 74
                                    

Sebulan lebih liburan di Bandung, orang tua kami sering jalan-jalan bersama cucu dan menantu. Aku sendirian bersama Mas Pram yang makin lama semakin kalem. Dia sudah berubah demi Linda.

Kakakku sudah jauh dari alkohol.

"Jus jeruk? Kok banyak banget?"

"Pengganti bir, Le. Aku capek diomeli Linda."

"Wah, Mas beneran tobat."

"Demi cinta, Le. Ada yang harus Mas korbankan." Mas Pram sengaja bicara keras saat pacarnya keluar kamar. Langkah Linda agak terburu. Wanita itu menghampiriku, buang muka dari Mas Pram yang saat ini tersenyum manis.

"Ada masalah?" tanyaku.

"Pak Prasojo meminta dokumen asli auditing kemarin."

"Nyoto bikin masalah lagi?"

Linda mengangguk.

"Iya. Beliau meminta bertemu di Sky Lounge," katanya, sebelum melirik Mas Pram yang sedang duduk di sebelahku. Matanya memindai kaleng di meja tanpa bicara sepatah katapun

"Ini cuma jus jeruk. Aku gak minum alkohol di rumah ini. Bisakah kau hargai pengorbananku?"

Linda tak membalas ucapan Mas Pram. Dia naik ke lantai atas, menyisakan wajah datar serta segudang tanya akan hubungan mereka berdua.

"Kok Linda kelihatan kesal banget sama Mas Pram?"

"Gak ada apa-apa," jawabnya santai, sebelum meminum jus kalengan yang baunya agak aneh.

"Terus hubungan kalian gimana?"

Mas Pram menoleh.

Dia buka kaleng jus lain dan memberikannya padaku.

"Linda masih gak percaya soal alkohol. Ingat waktu pertama kami kenalan? Aku sedang minum bir, bukan? Kesan pertama itu dia ingat sampai sekarang. Padahal aku sudah tobat."

Kuminum jus jeruk yang Mas Pram berikan. Tapi baru seteguk, aku merasa ada yang janggal. Aku baru tahu ternyata itu adalah bir kaleng yang kemasannya ditutup sticker.

"Mas tobatnya gak niat!"

"Khilaf."

"Masa gak bisa berhenti minum? Linda sudah buka hati loh."

"Memangnya kamu bisa berhenti merokok?" balas kakakku tak bisa dibantah. Mentang-mentang bukan perokok, dia selalu sindir kebiasaan buruk itu setiap kali kunasihati.

Aku tak terima. Aku tahu ia jaga image di depan Linda.

"Apa gunanya Mas pasang stiker kalau mulutmu bau alkohol? Linda bakalan tahu."

"Iya, dia pasti tahu. Tapi setidaknya aku gak kena marah sendirian," balasnya sambil melirik kalengku.

Aku langsung merasa bodoh. Kutaruh jus palsu itu dan segera berkumur dengan minuman pereda panas dalam. Mas Pram terbahak-bahak saat minuman itu masuk mulutku.

"Bahkan minuman ini juga bir!"

Separah-parahnya kemampuanku memahami urusan personal, aku cukup paham keadaan mereka berdua. Mas Pram dan Linda agak mirip. Dua-duanya sama-sama pandai menilai karakter, sekaligus punya gengsi. Hubungan mereka seperti tarik menarik sekaligus tolak menolak. Linda memang rusak di masa lalu. Tapi Mas Pram tak kalah rusak.

"Mas serius sama dia?"

"Memangnya kenapa?"

"Dia kan gak sempurna? Mas rela?"

Napas Mas Pram terhela sesaat. Belum sempat ia menjawab, Linda lebih dulu datang dengan menenteng berlembar dokumen.

Perempuan itu mendekati kami.

Mas Pram mundur perlahan saat Linda mulai mengendus.

"Tadi siapa yang bilang tak ada alkohol?"

"Handoko."

"Tukang fitnah!"

Linda tidak menggubris. Dia memberi bahasa tubuh padaku agar kami segera berlalu. Mas Pram memegang tangannya. Dia rangkul pundak Linda tanpa acuhkan penolakannya.

"Pram, kami mau kerja."

"Aku ikut. Aku ingin tahu kerjaan kalian."

"Kamu cemburu?"

"Sama adik sendiri? Jelas. Kamu perempuan paling susah didekati."

"Begitukah?"

Linda buang muka. Namun dalam sekilas, kulihat senyum dari bibirnya. Dia bahkan tidak menolak saat Mas Pram memintanya merangkul pinggang.

"Soal bir butuh waktu. Tapi soal perempuan, aku sudah berhenti, Linda. Bisakah kamu kasih kesempatan?"

"Aku bukan mereka. Aku tak mau kau jadikan piala."

"Tapi kamu memang piala. Kalau aku bisa memenangkanmu, aku simpan piala itu di etalase paling penting dalam hatiku."

"What a sweet talker."

"For a real sweet women. Gimme a kiss."

Linda menaruh tangan di pipi, mencegah ciuman yang hendak mendarat. Sepertinya hubungan mereka memang lebih jauh dari yang kupikirkan. Sebuah hubungan aneh dari dua makhluk yang sama-sama berpengalaman.

"Kalian ini satu spesies. Yang satu tukang PHP cewek. Yang satu lagi tukang PHP cowok."

Mas Pram tidak menggubrisku. Dia bukakan pintu tengah untuk Linda dan langsung duduk di sebelahnya. Aku yang menyetir, jelas tersinggung dengan sikap si buaya darat. Terlebih saat Mas Pram mencolekku dan bicara seperti boss.

"Sesuai aplikasi ya, Pak."

***

Jadwal bulan pertama adalah mempelajari kinerja lapangan. Yes, aku belajar 22 jam hampir setiap hari, enam hari perminggu demi menguasai dunia konstruksi. Materi yang kudalami sangat banyak. Mulai dari yang paling dasar sampai yang agak rumit. Jadwalnya pun sangat padat. Jam tujuh pagi sampai jam tiga sore aku berada lokasi proyek, jam empat sore sampai jam enam evaluasi, jam enam sampai jam dua belas belajar teori, setelah itu evaluasi lagi sampai jam empat subuh.

Bayangkan. Seluruh materi teknik sipil yang kuliahnya lima tahun harus dikuasai waktu tiga bulan.

Mustahil, bukan?

Tidak sama sekali.

Aku bahkan menyelesaikan dalam waktu sebulan saja. Aku ambil yang penting-penting dan buang aspek teoritis yang hanya berhenti di bangku kuliah. Termasuk materi yang terlalu rumit untuk kupelajari.

Direktur utama tak perlu ahli, bukan? Selama paham garis besarnya, sisanya kuserahkan ke bawahan yang lebih profesional.

"Anda tak pernah berhenti memberi saya kejutan, Pak Handoko," kata Prasojo setelah menjabat tanganku. Dia lirik pria di sampingku dan bertanya, "ngomong-ngomong, beliau siapa?"

"Saya Pramono Danuarta. Kakak Pak Handoko." Kakakku lebih dulu mengenalkan dirinya sebelum aku membuka mulut.

"Saudara kandung?"

"Iya."

Prasojo memberi reaksi serupa seperti orang-orang yang baru tahu bahwa kami adalah saudara. Wajah tak percaya karena perbedaan tampang yang sangat jomplang. Cepat-cepat ia hapus ekspresi itu karena tak enak kalau-kalau menyinggungku.

Percayalah.

Aku tidak tersinggung.

Aku tak pernah tersinggung.

Hiks ...

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now