Mendadak Ayah

69.9K 3K 65
                                    

Wahai pembaca, terutama yang ketar-ketir hitung jumlah chapter, don't worry.

Semuanya gratis.

Silimit mimbici!

***

"Mama, ada gorilla."

"Pssstt! Gak boleh gitu. Dan jangan lihat matanya."

Antrean jadi renggang karena makhluk berwujud seram. Pria itu tinggi besar. Tingginya saja 192 cm. Sedang beratnya 112 kg yang semuanya berupa otot. Belum lagi bulu-bulu lebat di sekujur tubuhnya. Wajar penumpang lain jaga jarak.

Padahal, pria itu sangat baik.

Bagaimana aku tahu?

Ehem! Karena pria itu adalah aku.

Ting Tong!

"Attention please, In one hour, Argo Wilis will depart from Surabaya Gubeng to Bandung Kota. This train will stop at Jombang, Madiun, Solo Balapan, Yogyakarta, Kotoarjo, Kroya, Banjar, Tasikmalaya, Cipeundeuy and Bandung. Thanks for your attention."

Suara announcement terdengar merdu dari speaker. Pemberitahuan multibahasa, tak jauh beda dari bandara. Tata ruang stasiun pun agak mirip ruangan boarding. Sangat tidak asing. Ada deretan kursi tunggu, mesin tiket berlayar sentuh, loket check in, juga gerai franchise yang harganya menguras jiwa. Terlalu mahal. Kaum tertentu saja yang mau belanja.

Tentunya, aku bukan golongan mereka.

"Hah? Tiga ratus lima puluh ribu?" ucapku tak percaya saat disuguhkan deretan harga.

"Iya, Pak. Hanya tersedia dua kursi di gerbong eksekutif. Selain itu tak ada lagi. Pemberangkatan selanjutnya juga penuh."

Tiga ratus lima puluh ribu hanya untuk tiket kereta? Aku tercengang tidak mengira. Bukan hanya penampakan stasiun, tarif keretapun hampir semahal tiket pesawat. Aku merasa dirampok di siang bolong.

"Saran saya, lain kali pesan online jauh-jauh hari."

"Iya, Mbak. Apa boleh buat?"

Dengan terpaksa kurogoh dompet karena tak ada pilihan lain. Kuserahkan pula tanda pengenal ke Mbak-Mbak penjaga loket. Ekspresinya kontan berubah setelah membaca data KTP.

"Hmmm ... Handoko Dwi Dharma? Anda serius baru umur 25?"

"Iya. Kenapa, Mbak?"

Penjaga loket senyum simpul. Iya, aku sadar pria sepertiku hanya laris di kalangan tante-tante. Keperjakaanku yang suci ini sering diincar wanita berumur. Respon mereka sama persis. Contohlah mbak-mbak penjaga loket. Dia masih juga melirikku dengan bibir mengulum pulpen.

"Masih single? Minta nomor hapenya dong."

"Uhmm ... Mbak, kereta saya mau berangkat."

Wanita akhir 30-an itu terbahak-bahak melihatku hanya menunduk. Syukurlah dia berhenti menggodaku. Setelah menerima tiket, aku duduk di kursi tunggu dan menyalakan kamera selfi. Tentunya bukan demi narsis. Tapi minder punya badan sebesar Hulk.

Kubelai lagi brewok tebal di sepanjang dagu. Aku jadi terlihat lebih tua. Begitupun wajah persegi yang lebih mirip kotak amal. Katanya sih aku macho. Tapi sampai detik ini diriku jomlo. Tak ada perempuan yang mau padaku, karena mereka lebih berselera pada oppa-oppa Korea.

Apa aku harus pakai lipstick seperti mereka?

Kenapa aku seseram ini?

Padahal aku orangnya baik.

Sumpah.

"Apa lihat-lihat? Bosan hidup?" tegurku sopan pada seorang pria yang seenaknya main senggol.

Untung saja bukan copet.

"Ma—maaf, Om!"

Pria itu agak gelagapan. Agak tergesa pula dia taruh koper di sebelahku karena tak ada lagi kursi kosong. Ada tulisan porter di belakang kaosnya. Porter itu pergi begitu saja seolah-olah melihat demit.

"Gak usah bayar, Neng!" teriaknya ke seseorang.

Mataku berpindah tatap dari si porter ke sosok imut yang baru datang. Pasti si pemilik koper. Dia si gadis muda yang nampaknya masih SMP. Imut sekali. Tingginya mungkin 150 senti. Berbanding terbalik dengan tubuhku yang tinggi besar. Gadis itu agak kebingungan karena porter tadi tidak sempat mengambil upah.

Aku yang jadi pelakunya, pasang wajah tidak bersalah.

"Mbak, duduk di sini saja."

Pantatku bergeser. Tanpa dia minta, aku berdiri dan mengosongkan kursi sendiri. Ibu mendidikku jadi gentlemen. Beliau selalu bilang bahwa aku tak boleh diam saat perempuan dalam kesulitan. Terlebih, aku baru sadar si imut itu ternyata sudah punya bayi.

Gila! Masih SMP sudah punya momongan?

***

Peluit panjang mengawali keberangkatan. Aku duduk tenang di bangku eksekutif yang agak mirip kursi tukang cukur. Bisa diputar-putar. Bisa pula mengatur kemiringan karena luas jarak antar penumpang. Sangat nyaman untuk tidur. Terutama bagi ibu muda yang sudah terlelap bersama bayinya.

"Tiketnya, Pak?" Seorang kondektur datang menegur. Aku meraba saku dengan hati-hati agar tak membangunkan orang sebelah. Ada dua tiket di tanganku. Kondektur itu tersenyum ramah setelah dia memeriksanya.

"Kalau ada yang bisa kami bantu untuk dedek bayinya, bapak bisa hubungin nomor saya." Dia tunjuk sebuah papan bertuliskan nomor ponsel.

Senyumku jadi kaku. Wajahku mungkin memerah. Sejak membantu si ibu muda, orang-orang salah sangka bahwa aku suaminya.

Entah kebetulan apa kami duduk di gerbong sama dan nomor bangku yang sama pula. Sejak duduk di kursi tunggu, aku terus membantunya sampai kami ada di gerbong. Mulai dari membawakan koper, menatanya, sampai jasa penitipan tiket. Sebenarnya merepotkan. Tapi aku tak keberatan. Ada sensasi tersendiri saat orang-orang memandang kami sebagai pasangan suami istri.

Kenapa aku seperti ini?

Apa karena aku jomblo abadi?

"Ya ampun, ada pasangan muda."

Bukan hanya Kondektur. Penumpang lainpun mengamini salah paham itu. Si ibu muda juga tak banyak bicara saat terbangun dari tidurnya. So far so good. Setidaknya, sampai tiba-tiba si bayi menangis entah karena alasan apa.

"Oweee!"

Kira-kira 10 menitan bayi itu menangis serik. Awalnya biasa saja. Tapi lama-lama jadi gelisah saat penumpang mulai melihat ke arah kami. Aku ikut panik saat mereka mulai menegur.

"Mbak, tolong anaknya ditenangkan."

Si ibu muda sudah berusaha menenangkannya. Dia timang bayi itu sambil sesekali mencium kening. Tapi bukannya diam, bayi itu malah beralih ke loud speaker.

"Ayolah, tenangkan bayinya. Kami gak bisa tidur!"

Para penumpang semakin ribut. Si ibu muda malah menyerah. Mulai menangis karena bayinya tak mau diam. Celakanya, gara-gara salah paham itu, tatapan penumpang kompak beralih ke arahku.

"Kamu itu ayah macam apa sih? Tenangkan anakmu!"

"Iya nih, suaminya kok diam saja sih? Badannya saja gedhe!"

Aku gelagapan karena dianggap seperti suami tak bertanggung jawab.

Aku harus bagaimana?

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now