EP 18 - 5 : BUKAN CACAT

300 15 0
                                    

BRAK

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

BRAK. Ma Wang melempar kotak berisi geumganggo model lama ke atas meja di ruangan utama penthouse Son Oh Gong. Dia bercerita, “Aku beli geumganggo lagi dari Toko Serba Ada. Itu model lama.”

Oh Gong mengeluarkannya dari dalam kotak. “Apa nih? Dipakainya di kepala ya?” tebak Oh Gong, dilihat dari ukurannya yang jauh lebih besar daripada geumganggo yang dipakainya.

Ma Wang tak perlu mengiyakan.

“Kalau pakai ini, aku tidak akan bisa ke mana-mana—karena akan memalukan. Beliin yang model terbaru, makasih ya?” kata Oh Gong, pada Ma Wang.

“Aih, makasih apaan?” Ma Wang tak perlu mendengarnya. “Itu barang cacat. Waktu dipakaikan ke Sekretaris Ma, bisa lepas begitu saja.” Ma Wang benar-benar mengeluhkan itu.

Oh Gong agak tak percaya.

“Gara-gara itu, aku jadi merasa bersalah padamu. Ah ...”

“Benda beginian ada yang cacat juga ya?” Oh Gong tak pernah menyangka itu sebelumnya.

“Heh, punyamu benar-benar tidak bisa lepas sendiri?” Ma Wang penasaran.

Oh Gong pun bercerita, “Aku sudah mencoba berbagai cara untuk melepaskannya. Pakai sabun, dimasukan ke air panas, dipukul pakai batu, tapi ... tidak bisa lepas. Dan sekarang aku tak berniat untuk melepaskannya.” Oh Gong menaruh kembali geumganggo model lama itu ke dalam kotaknya.

“Coba deh kau pikir-pikir lagi,” kata Ma Wang. “Setelah benda itu lepas dan kau bertemu Sam Jang, tiba-tiba ... ‘Aih, itu siapa ya? Bukan tipeku ah. Jelek sekali.’ Kalau jadinya begitu kan, artinya selama ini kau ditipu!”

Oh Gong hanya mendesis lucu.

“Kau harus memastikannya dulu sebelum mati!” Ma Wang ngotot.

“Kenapa? Kau ingin aku tetap hidup? Kau mencintaiku?”

“Aish, menjijikan.” Ma Wang merinding. “Heh, Monyet Nakal macam kau ini ... sungguh tidak pantas kalau mati hanya demi cinta!”

Oh Gong tak menyangkal itu.

Ma Wang menutup kotak geumganggo lama, lalu melemparkan sesuatu ke meja dari saku mantelnya. Katanya, “Itu obat yang didapat Sekretaris Ma. Dimakan.”

“Tumben betul,” Oh Gong memuji. “Sampaikan ‘makasih’ ke Sekretaris Ma, ya?”

Ma Wang hanya bangkit bersama barang-barang bawaannya—kotak berisi geumganggo model lama dan payung hitam, lalu meninggalkan tempat ini.

Oh Gong kembali melemas di sofa.

Oh Gong kembali melemas di sofa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Heh, ini barang cacat. Kembalikan uangku.” Ma Wang mengajukan protes pada Pemuda Cuek di Toko Serba Ada. Dia ingin keadilan.

“Aih, uangnya sudah tidak ada, sudah habis,” kata Pemuda Cuek, cuek.

“Dalam waktu sesingkat itu, kau sudah menghabiskannya? Nyalimu itu ‘lolos’ sekali rupanya.” Ini sama sekali bukan pujian.

Pemuda Cuek berkata, “Tidak ada barang cacat di sini. Coba lagi deh.”

“Barangnya cacat, tak bekerja sesuai konsepnya. Tidak percaya, coba saja sendiri.” Ma Wang menyodorkan kotak berisi geumganggo model lama itu ke lebih dekat dengan Pemuda Cuek.

“Ogah deh,” kata Pemuda Cuek.

“Kalau gitu, kembalikan uangku.” Ma Wang membuka telapak tangannya.
Kalau itu, lebih ogah lagi. Pemuda Cuek geleng kepala.

Ma Wang melotot bolak-balik antara geumganggo dan Pemuda Cuek, memaksanya untuk mencoba geumganggo itu.

Dengan terpaksa, Pemuda Cuek bersedia untuk mencoba memakai geumganggo itu. Begitu dipakaikan di kepala, dia ber-oh-oh takjub karena gelitikan-gelitikan aneh yang terasa, malah dahinya pun bergoyang-goyang.

Ma Wang meluncurkan perintah, begitu gelitikan aneh itu selesai, “Beri tahu aku, cara untuk melepaskan geumganggo Son Oh Gong.”

“Emang ada gitu?” Pemuda Cuek tak tahu.

“Aih, tuh kan? Geumganggonya cacat itu. Kembalikan saja uangku, cepat!” seru Ma Wang, tak sabar.

“Tak ada. Uangnya sudah habis—auauah, ah ....” Rasa sakit menyiksa Pemuda Cuek.

Ma Wang berbinar-binar.

“Lepaskan benda ini, cepat!” Pemuda Cuek tak bisa melepasnya sendiri. Geumganggo melilit kuat, bahkan di rambutnya yang kelihatannya lembut.

Ma Wang akan mencobanya sekali lagi. Dia mengajukan pertanyaan, “Kau ... di mana menyimpan uang itu?”

“Tak ada—aduh! Ah, auauauah ...” Pemuda Cuek terus berusaha untuk melepaskan geumganggo itu, tapi ... “Ada di toples yang itu tuh ...” akhirnya dia mengaku untuk mengakhiri rasa sakit yang menyiksa itu.

Ma Wang melirik toples yang ditunjuk oleh Pemuda Cuek.

“Dasar kau ini, ckckckck.” Ma Wang pun melepas geumganggo itu dan mengakui bahwa benda itu bukan barang cacat.

Dia mengomel, “Apaan kau? Merengeknya lebay betul. Gak sakit-sakit amat kok.”

“Sakit banget tau. Rasanya mataku mau copot ini!” Pemuda Cuek tak bohong.

“Okelah. Ini kubawa pulang lagi ya?” Ma Wang memasukan geumganggo itu ke dalam kotaknya, lalu beranjak untuk pulang.

“Ajussi, payungnya tuh!” kata Pemuda Cuek, karena melihat payung Ma Wang ketinggalan.

Rasanya aneh sekali, pikir Ma Wang.
Ma Wang menoleh, dan benar: payungnya memang ketinggalan. Dia melirik pada Pemuda Cuek. “Ajussi?” Ma Wang mengulang.

“Kenapa?” Pemuda Cuek, cuek.

“Tak ada siluman yang memanggilku ajussi,” kata Ma Wang. Itulah yang terasa aneh olehnya.

“Oh ... biasanya Ma Wang-nim, kan ya?” Pemuda Cuek baru sadar. “Emangnya gak boleh gitu dipanggil ajussi?” Pemuda Cuek ingin tahu.
Ma Wang hanya mengangguk-angguk bingung. Dia pun tidak tahu jawabannya. Hanya saja ... dia tidak terbiasa dipanggil begitu.

“Okelah. Kau boleh memanggilku ajussi,” kata Ma Wang. “Jaga toko yang betul. Jangan main belakang,” pesan Ma Wang. Lalu dia mengambil payungnya dan terkekeh sekali lagi sebelum meninggalkan Toko Serba Ada. Rasanya lucu juga dipanggil ‘ajussi’ oleh siluman muda seperti anak itu, pikir Ma Wang.

Pemuda Cuek monyong-monyong setelah Ma Wang pergi. “Ish, aku kan bukan sembarang siluman. Aku setengah dewa, tau!”

 Aku setengah dewa, tau!”

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
A KOREAN ODYSSEY [HWAYUGI]Where stories live. Discover now