Chapter 24

225 32 45
                                    








Uchiha Madara disibukkan kembali oleh urusan kantor. Pikirannya terpecah belah membagi urusan kantor dan keluarga. Tapi tetap waktunya bersama keluarga adalah salah satu pengorbanan yang harus ia pertaruhkan.

Sepulang bekerja sore ini, pria itu mengulum senyum saat melihat tubuh lincah nan seksi itu kembali bergerak di depan pantri dapur. Satu tangannya sibuk mengaduk sesuatu yang menggoda di panci.

"Ada yang membuatmu bahagiakah hari ini?" Ekor mata Mei menangkap suaminya yang baru saja pulang dari kantor. Ada hal tidak beres jika mendadak suaminya itu duduk terpaku lama di atas kursi dengan senyum mengembang yang terlalu ambigu untuk diartikan.

"Tidak. Hanya menikmati teh buatanmu saja. Enak."

"Kau aneh." Satu belaian mampir di pipi Madara saat wanitanya itu meletakkan mangkuk besar berisi sup didepannya.

Setelah itu, Mei hendak kembali ke dapur tapi langkah Madara mendekati wanitanya.

Memeluk Mei dari belakang.

"Ah! Ada apa denganmu, Madara?" Mei agak terkejut. Pelukan pria itu semakin erat, semakin aneh dengan belain halus tepat di perut Mei yang kini datar.

"G-geli, Madara.." Pada akhirnya wanita itu meronta karena rasa geli akan belaian Madara di perutnya.

"Kau harus banyak makan dan jangan banyak melakukan kegiatan yang bisa membuatmu lelah."

"Aku tidak suka banyak makan karena itu akan membuatku gendut."

"Aku tidak ingin Fumiko mendapatkan akibatnya jika kau terlalu lelah, sayang. Kau masih memberinya ASI."

Mei tersenyum menjawabnya, "Kau benar..."

"Selain itu juga, ayahnya juga harus dapat bagian."

Senyum wanita itu memudar, keningnya mengkerut seperti orang emosi. "Cukup, Madara. Semalam kau seperti bayi yang kehausan."

"Aku memang kehausan. Sudah dua minggu aku tak mendapat jatah." Balas Madara melipat tangannya, kedua matanya terpejam erat.

Mei tiba-tiba merona merah jika pria itu bicara jujur dan terang-terangan. Ya memang sih, seminggu ini ia masih dalam pengobatan. Lalu minggu sebelum Mei melahirkan, ia juga sibuk memikirkan kelahiran anaknya. Jadi terhitung dua minggu.

"B-bersabar sedikit," Ucap Mei mendadak gugup. Pipinya masih merah. "Sampai dua bulan kedepan.." Lanjutnya menggigit bibir.

"Aku tahu, aku memang sabar.." Ucap pria itu sedikit meninggikan nada bicaranya.

Percakapan mereka terhenti saat mendengar suara deru mesin mobil. Kemudian suara mesin mobil itu tergantikan oleh suara-suara berisik yang saling menyahut. Detik kemudian, Madara menangkap tiga putranya yang nampaknya baru selesai dengan aktivitasnya masing-masing. Tiga? Ya, hanya Sasuke yang belum pulang.

Mereka langsung duduk di meja makan. Kecuali Obito yang nampaknya tak ikut duduk. Dari raut wajahnya saja sudah dipastikan pria itu tak ada nafsu sama sekali melihat makanan-makanan yang berjejer di meja makan. Wajahnya terlihat frustasi, tak luput lelah juga nampak di wajahnya.

Madara mengerutkan keningnya, kasihan. Pria itu berpikir bahwa mungkin kerjaan kantor yang begitu banyak menimpa Obito sehingga pria itu seperti ini. Tak salah jika Obito terlihat frustasi karena tak ada yang membuatnya tersenyum saat pulang ke rumah. Ia jadi teringat ketika dirinya masih belum menikah.

Walaupun yang dipikirkan Madara ada benarnya, tapi bukan itu yang membuat Obito frustasi. Yang membuat Obito frustasi adalah karena sudah tiga hari berlalu sejak Rin datang ke rumahnya,  wanita itu tak menelpon bahkan tak menemuinya. Jangankan menelpon menghubungi lewat chat saja tidak.

My Daddy Madara (Season 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang